Sunday, February 1, 2015

LIFE (Part 21)

Ini hanya tentang aku yang tiba-tiba kewalahan membendung perasaan. Hingga banjir pun melanda rumah kita yang awalnya baik-baik saja. Banjir keluhan, banjir rasa kecewa, banjir rasa dongkol, banjir kesedihan, semuanya menyatu dalam banjiran air mata di pipi. Dan kau tahu sesungguhnya apa yang menyebabkan banjir itu?

Seperti halnya sungai yang meluap karena sumbatan sampah, pun tak lain dengan pipi yang kebanjiran bulir-bulir bening. Rindu yang bertumpuk-tumpuk, menggunung memenuhi dada hingga waktu tak lagi mampu membendungnya. Jadilah basah pipi ini, air meluap hebat membawa bermacam perasaan.

Kukatakan lagi, ini hanya tentang aku yang tiba-tiba kewalahan membendung perasaan. Karena, sejak jauh-jauh hari aku sudah mengerti, ketika aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa ini, maka harus ada perasaan lain yang dikorbankan. Seperti saat ini, kau harus bersuka rela mengorbankan sabarmu hanya untuk mendengarkan ocehanku bahkan omelan yang aku yakin sangat membuatmu merasa tidak nyaman.

Harusnya, aku bangun bendungan yang lebih kuat lagi. Harusnya, aku bangun bilik yang lebih besar lagi. Supaya aku bisa menyembunyikan perasaan ini rapat-rapat (lagi). Supaya jika dia makin menjadi dan hampir meluap, aku masih bisa membendungnya, paling tidak untuk mengamankan perasaan lain, terutama menyelamatkan sabarmu.

Namun, aku sendiri tak yakin bisa membuatnya. Toh,sudah kucoba beberapa kali, ternyata hanya dalam hitungan jari bendunganku roboh, bilikku berantakan. Bisakah kau membantuku?

Tidak. Aku tidak memintamu membangun bendungan apalagi bilik persembunyian. Karena, aku tahu kau tidak bakalan setuju. Tapi, aku minta kau bersedia membantuku, kita sama-sama membuat pagar untuk rumah kita. Supaya kita bisa sama-sama menyelamatkan rumah kita. Sampai kita menua bersama dan bersama-sama menghabiskan masa tua. Sampai anak, cucu, buyut, dan seterusnya terus meramaikan rumah kita dengan canda tawa. Bisakah?

No comments:

Post a Comment