Saturday, March 21, 2015

Bandel, Sih!

Penulis: Endar Wahyuni

    “Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Aku menutup pengajian anak-anak sore ini. Serentak anak-anak langsung menuju tempat wudu seusai menjawab salamku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kebetulan bulan puasa. Jadi, TPA masih berlangsung hingga magrib.

    Kurapikan beberapa buku pekerjaan anak-anak. Sesekali, kuintip mereka lewat kaca jendela. Tempat wudu yang terbatas membuat mereka harus mengantre. Biasanya, ada yang memilih main-main sambil menunggu giliran. Namun, sore ini banyak yang memilih menanti sambil duduk-duduk di teras masjid. Maklum, hujan tengah mengguyur kampungku.

    “Aduh, Sayang, jangan hujan-hujanan!” teriakku dari ambang pintu ketika kulihat beberapa anak tengah lari-larian di halaman masjid.

    Rupanya, tak ada yang mengindahkanku. Mereka malah semakin asyik kejar-kejaran. Bocah-bocah kecil itu tak memedulikan tubuhnya yang mulai basah kuyup. Bahkan, mereka terlihat begitu gembira dalam pelukan hujan.

    “Sudah..., sudah...! Nanti kalian sakit, lho. Apa mau pas buka puasa kedinginan gara-gara bajunya basah?” teriakku lagi. Kali ini aku sudah berada di teras masjid.

    “Mbak, sini! Seru, lho!” panggil seorang gadis mungil yang terlihat lebih cantik dan terawat dibanding teman mainnya yang lain.

    “Sebentar lagi buka puasa. Ayo wudu dulu. Terus nanti masuk masjid! Udah basah itu bajunya!” perintahku sekali lagi.

    “Siap, Mbak!” sahut gadis kecil tadi sembari memamerkan senyum manisnya. Namun, kaki kecilnya masih lincah mengejar teman-temannya.

    Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sebenarnya, aku nggak tega juga menghentikan aksi mereka yang terlihat sangat bahagia. Namun, di sisi lain aku pun tak tega jika nanti mereka sakit.

    Brukkk!!!

    Tiba-tiba bocah perempuan tadi jatuh. Kakinya tersandung batu. Tangisnya buncah memanggil ibunya. Bergegas kuambil payung di sampingku, lantas tergopoh menolongnya.

    “Cup, cup, cup! Sudah, nggak apa-apa. Cuma lecet sedikit, kok!” ucapku menenangkan sambil meniup lututnya yang sedikit berdarah.

    Gadis mungil itu masih menangis sesenggukan. Tak tega aku melihatnya. Kuambil kapas dan air untuk membersihkan lukanya. Tapi, dia malah semakin kesakitan.

    “Sakit, ya? Mbak hati-hati aja, deh, bersihinnya. Tapi, lain kali kamu juga harus hati-hati, ya. Nggak boleh lari-larian, apalagi pas hujan. Kan, licin halamannya...,” nasihatku.

    Tangis gadis itu malah semakin keras. Dia meronta-ronta minta diantar pulang. Kucoba membujuknya untuk tinggal sebentar. Paling tidak sampai aku selesai mengobati lukanya. Namun, dia sudah nggak sabar. Akhirnya, kuantarkan dia pulang.

    “Maaf, ya, Buk. Ini ngobatinnya belum rata,” terangku ketika sampai di rumahnya.

    “Nggak apa-apa, Mbak. Makasih, ya, sudah dianterin pulang. Malah ngrepotin jadinya. Niatnya disuruh ikut ngaji biar pinter. Eee..., Endarnya malah bandel,”ucap perempuan itu.

    “Biasa, Buk, anak kecil. Mereka sebenarnya nggak nakal, kok. Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, Buk. Harus buru-buru kembali ke TPA,” pamitku seraya menjabat tangannya.


JOG, En-021214

*) kejadian sekitar tahun 1998


Lihat juga FTS lainnya di sini

Thursday, March 5, 2015

GADIS DALAM LUKISAN

Penulis: Endar Wahyuni

Joe masih berdiri menatap lukisan di depannya tanpa memperhatikan keramain di sekelilingnya. Lukisan gadis cantik bergaun biru yang tengah duduk manis di atas gumpalan awan. Tampak pula bulan sabit bersinar terang dalam pangkuannya. Sebuah selendang putih berkibar menutup matanya tak membuat lelaki itu lupa sorot indahnya. Binar ceria yang selalu terpancar dari gadis dalam lukisan itu, yang tak lain adalah gadisnya.

***

“Pegel banget. Sudah belum, Sayang?” keluh Keysa.

“Bentar, bentar....”

Keysa membenahi posisi duduknya di atas properti gumpalan awan. Tangannya sudah merasa capai memegangi bulan dalam pangkuannya.

“Nah, sudah. Sini… sini…! Lihat, deh!”

“Waaaw…!” Mata keysa terlihat berbinar.

“Gimana, Sayang? Suka?”

“Suka banget. Aku makin kagum, deh, sama kamu.”

“Oh, ya, ini akan aku ikutkan ke pameran lukisanku bulan depan.”

“Makasih, Sayang….”

“Nanti kamu harus datang, ya!”

“Pokoknya aku akan nemenin kamu seharian,” ucap Keysa penuh semangat.

***

“Hei, Ndi! Di sini juga rupanya. Kok, bisa nggak nyadar, ya, gue kalau ada loe di sini,” sapa Joe ketika melihat sahabatnya berada di sampingnya.

“Joe? Udah lama, ya, kita nggak ketemu.” Andi tersentak dari lamunannya.

“Udah berapa tahun, ya? Ngomong-ngomong kenapa kita nggak nyadar kalau sama-sama di sini, ya? Terlalu terpesona sama lukisan ini atau kebanyakan melamun, nih?” tanya Joe seraya menunjuk lukisan di hadapannya.

“Hahaha. Dua-duanya mungkin. Mana cewek loe?”

“Seperti yang loe lihat, gue sendirian aja,” jawab Joe sedikit kecewa.

“Kenapa dia? Katanya mau loe kenalin sama gue.”

“Sebulan lalu dia udah janji mau nemenin gue seharian buat hari ini. Cuma, kemarin tiba-tiba dia ngabarin kalau hari ini ada acara keluarga. Katanya harus ke rumah tantenya yang di Semarang. Padahal, sebenarnya gue pengin banget dia datang dan merayakan hari spesial ini.”

“Ya sudah, jangan galau! Hari ini jatahnya kita senang-senang. Eh, gue lupa belum ngucapin selamat ke loe. Selamat…”

“Selamat hari ulang tahun kita,” potong Joe. “Dan selamat atas pameran lukisan loe yang pertama. Eh… perempuan ini…?”

“Itu pacar gue. Sebentar lagi dia datang.” Andi---yang kebetulan tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir Joe---tersenyum lebar, tampak bangga dengan hasilnya melukis sang kekasih.

“Oh…, pantesan. Setahu gue Keysa nggak pernah jadi model,” gumam Joe.

“Hahhh? Apa? Ramai banget di sini, Joe.”

Joe melangkah pergi. Ditinggalkannya Andi yang masih bingung sendiri.


JOG, En-241214



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
 

Sunday, March 1, 2015

Perempuan dan Pernikahanku

Penulis: Endar Wahyuni

Hanya tersisa aku dan dia di ruangan ini. Perempuan yang paling kusayangi setelah ibuku. Paras ayunya berkolaborasi manis dengan senyum yang selalu menenangkan. Memandanginya, berada di dekatnya adalah salah satu hal terindah yang pernah kumiliki. Aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya. Aku menyayanginya. Sunguh, aku benar-benar menyayanginya.

Tapi, kali ini ada yang berbeda. Sedikit rasa tak nyaman menyelinap. Aku mencemaskan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Aku tahu, jauh dalam hatinya pasti ada rasa sedih yang mendalam, yang tak pernah bisa diungkapkannya. Dan aku pun tahu, senyum yang mengembang siang tadi hanyalah payung bagi hati yang hampir kuyup terguyur pedih.

“Aku tahu ini sulit bagimu, juga bagiku. Tapi, sejujurnya aku pun tak ingin menyakitimu. Aku menyayangimu. Namun, di sisi lain aku pun sangat mencintainya.” Kutatap wajah sayu yang tengah menikmati senja lewat jendela ruangan.

“Harusnya memang tak seperti ini!”

Kuhela napas panjang. Bagaimana aku harus menjelaskan ini? Bahkan, ‘pabila aku berada di posisinya, aku belum tentu bisa setegar dia. Bisa jadi aku sudah ngamuk duluan. Membabi-buta, mengutuk Tuhan atas ketidakadilan ini. Tapi sekali lagi, dengan tenang dia menyaksikan pertunanganku tadi siang. Selengkung senyum menghiasi wajah riangnya---yang sebenarnya dibuat sedemikian rupa agar tampak bahagia.

“Terlalu egoiskah aku? Hingga aku tak memikirkan hati perempuan yang sangat kucintai?” Aku ikut menyimak wajah cakrawala yang kian menjingga. Apatah ini hari-hari terakhir yang bisa kunikmati bersamanya? Tinggal berapa hitungan jari lagi? Siang tadi keluarga tunanganku meminta untuk mempercepat pernikahan ini. Sialnya, Bapak dan Ibu menyetujuinya. Hey, tidakkah mereka memikirkan perempuan yang kini tengah bersamaku menghabiskan senja-senja terakhir ini?

“Kamu tidak egois. Tapi, mungkin akan lebih baik jika semua ini tidak terjadi. Atau kau bisa meminta mengundurkan tanggal pernikahanmu. Setidaknya sampai semua siap menerima luka ini.”

“Tapi, itu sama sekali tak bisa kulakukan. Aku takut menyinggung keluarganya.”

“Kalau begitu memang sudah jalannya seperti ini, harus ada yang tersakiti.”

“Tidak! Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Hanya saja.... Arggghhh...!” Aku menelungkupkan kedua telapak tangan tepat di wajah. Aku sama sekali tak mengerti dengan semua ini.

“Dek, kenapa sedih gitu? Takut, ya, nggak bisa melihat senja bersama Mbak lagi?” goda perempuan itu mengakhiri pergulatan batinku. “Mau menikah, kok, sedih. Nggak boleh gitu, dong,” lanjutnya seraya memelukku. Matahari telah mencapai peraduannya. Kini hanya kerlip lampu rumah-rumah dan jalanan yang terlihat dari jendela kamar kami.

“Maafkan aku, ya, Mbak,” ucapku lirih dan balas memeluknya.

“Nggak apa-apa. Jodoh di tangan Tuhan. Doain saja supaya Mbak cepet nyusul kamu,” jawabnya sambil tersenyum manis. Disekanya air mataku lalu dicubitnya hidung mungilku. Aku pasang tampang cemberut diiringi tawanya yang pecah. Tawa tempatnya bersembunyi sejak siang tadi.


JOG, En-010315


Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini