Sunday, April 26, 2015

Pencuri Janji Jari

Penulis: Endar Wahyuni



“Pak, dia itu pencuri. Jelas-jelas cincin saya ada di tanganya. Kurang bukti apalagi? Kita bawa ke kantor polisi saja.” Wanita itu terus menuduhku.



“Sabar, Bu..., sabar...! Saya minta Ibu jelaskan dulu permasalahannya,” pinta satpam di hadapan kami.



“Tadi saya ke kamar mandi. Karena kebiasaan, saya melepas cincin dan menaruhnya di atas tempat tisu. Saya lupa lantas meninggalkannya begitu saja. Kira-kira sepuluh menit kemudian saya kembali, ada perempuan ini keluar dari tempat yang saya gunakan sebelumnya. Dan saya terkejut ketika mendapati cincin itu sudah di jarinya!” jelas wanita itu.



“Aku sama sekali nggak tahu soal cincin di atas tempat tisu. Aku bawa tisu sendiri. Dan ini benar-benar cincinku.” Suaraku bergema di ruangan petugas keamanan pusat perbelanjaan itu.



“Jangan-jangan cincinnya memang masih di toilet, jatuh mungkin. Lagian cincin dengan model sama itu banyak.”



“Tidak, Pak. Saya sudah coba mencarinya tapi tidak ketemu. Itu cincin pernikahan. Suami saya dulu memesannya khusus. Kalau masih tidak percaya, suruh perempuan itu melepasnya dan lihat di bagian dalam. Di sana ada inisial nama saya dan suami.”



“Tolong dilepas,” pinta satpam itu padaku.



Perlahan kulepas cincinku. Satpam tadi menerimanya lantas memeriksa bagian dalam, “Apa inisial yang terdapat di cincin Ibu?”



“Huruf P, lambang cinta, dan huruf M. Nama suami saya Pambudi, saya Murtika. Kalau masih tak percaya, saya akan minta suami saya ke sini. Di cincinnya juga tertulis inisial yang sama.”



DEG!



Jantungku berdegup kencang. Sementara satpam itu buru-buru mencengkeram tanganku.



“Pak, saya menemukan ini di toilet. Terselip di antara tisu bekas yang berceceran di lantai.” Tiba-tiba seorang petugas kebersihan datang tergopoh-gopoh menemui satpam sambil menunjukkan sebuah cincin.



Satpam yang meringkusku terdiam, begitu juga wanita tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang jelas saat ini yang terlintas di otakku adalah kata-kata suamiku ketika bersama-sama membeli cincin kawin. “P artinya Papa, M artinya Mama. Biar beda dari yang lain, Sayang,” ucap suamiku waktu itu.



Buru-buru aku mengeluarkan ponsel lantas menunjukkan sebuah foto pada wanita tadi. Lirih aku memastikan, "Pambudi Prasetya Jati?"



Wanita itu mengangguk, entah tak percaya, atau bahkan tak mengerti.





JOG, En-090415




Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

Friday, April 24, 2015

Aira...!

Penulis: Endar Wahyuni



Musim liburan sekolah kali ini sengaja kumanfaatkan mengajak anak-anak menginap di rumah neneknya. Maklum, jarak rumahku dengan rumah ibuku lumayan jauh. Kami harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam terlebih dahulu. Makanya, selama tinggal bersama suami di Solo, aku jarang mengajak anak-anak ke rumah neneknya.

Malam ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Tapi, entah kenapa si bungsu belum juga mengantuk. Aira, putriku yang baru senang-senangnya berjalan itu tengah asyik bermain bersama kakaknya. Nabil---putra sulungku yang berusia enam tahun---memang suka menggodanya. Mengambil barang kesukaan Aira, dan memaksa adiknya itu untuk mengejarnya. Mereka tampak sangat senang, Nabil berjalan sambil terkekeh, sedang Aira membuntutinya dengan langkah yang belum begitu sempurna.

“Ayo, ayo, sini!” goda Nabil.

Kulihat Aira berusaha mengejar dengan langkah-langkah kecil sambil berceloteh sesukanya. Nabil masih mempermainkan bando adiknya itu, berharap Aira segera mendekatinya. Aku tersenyum kecil melihat ulah keduanya. Lantas perhatianku kembali tertuju pada layar televisi.

BUKKK!!!

Aku mendengar ada yang terjatuh. Aira. Pikiranku langsung melesat pada si bungsu. Kualihkan pandanganku ke sekeliling. Aku hanya mendapati Nabil yang tengah terdiam ketakutan. Mana Aira? Bahkan, aku pun tak mendengar tangisannya.

Aku mencoba melongok ke lantai bawah yang memang hanya dibatasi teralis pagar setinggi pinggangku.

Deggg!

Jantungku berdegup kencang. Kulihat tubuh Aira sudah berada di lantai bawah tak sadarkan diri.

“Airaaa...!!!” jeritku.

Ibuku yang berada di kamarnya segera keluar dan membopong Aira. Aku tergopoh menuruni tangga. Aira masih terdiam dalam gendongan neneknya. Matanya memang sudah mulai terbuka. Namun, dia hanya diam saja, menangis pun tidak.

“Aira, Sayang... ini Mama, Nak. Aira....” Kupanggil-panggil namanya.

Dalam gendongan ibuku, Aira masih diam saja meskipun matanya mulai berkedip. Aku bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Ibuku---yang memang lebih bisa tenang dalam menguasai keadaan---segera menyerahkan Aira ke pelukanku lantas menghubungi adik laki-lakiku untuk segera mengantarkan kami ke rumah sakit. Kemudian, dia pun meminta suamiku di Solo untuk segera ke Yogyakarta.

Aira baru bisa menangis ketika adikku sudah datang. Kami pun langsung meluncur ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa untuk sementara kondisi Aira baik-baik saja. Aku sangat bersyukur mendengarnya. Ya, kecelakaan ini memang peringatan dari Tuhan agar aku tidak lalai menjaga anakku. Mengingat lantai atas yang pagar pembatasnya memang berstruktur rangkaian jeruji ukir di mana terdapat celah-celah yang lumayan lebar. Tapi, sekali lagi aku sangat berterima kasih pada Tuhan. Karena, meskipun jatuh dari ketinggian yang lumayan, namun tak ada sedikit pun darah yang keluar dari tubuh Aira. Sebenarnya aku heran juga. Mungkin mukjizat dari Tuhan, pikirku.




JOG, En-060115

*) diambil dari cerita cucunya Ibu Kos



Lihat juga FTS lainnya di sini
 

Thursday, April 23, 2015

TANGIS SI KECIL

Penulis: Endar Wahyuni



Langit tiba-tiba sedikit menitikkan air matanya ketika aku sedang membedung anakku. Untung saja hanya gerimis dan tidak ada petir, sehingga aku tidak perlu khawatir.

“Eh, cucuku sudah cantik.” Mertuaku tiba-tiba sudah berada di dekatku.

“Sudah, Nek,” jawabku seolah-olah ingin mengajari putriku berbicara.

“Ya, sudah, kamu makan dulu sana. Biar kugantikan jagain si kecil,” perintah mertuaku.

“Sama Nenek dulu, ya, Nak. Jangan nakal,” pamitku.

Ibu mertuaku segera mengambil alih si kecil dari gendonganku. Ditimang-timangnya sambil sesekali berceloteh, seakan-akan sedang mengobrol. Lalu, dilantunkannya beberapa tembang Jawa.

Buru-buru kulangkahkan kakiku ke ruang makan. Mumpung si kecil sedang tidak rewel, aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk makan. Lagian, aku tidak merasa khawatir jika sudah ada neneknya. Namun, baru beberapa suapan, kudengar si kecil menangis. Ah, tak apalah, sudah biasa bayi sering menangis, pikirku.

Kuteruskan suapanku. Namun, belum juga nasi di piringku habis, kudengar tangis si kecil semakin mengeras. Kali ini aku khawatir. Jangan-jangan neneknya sedang ke kamar mandi sebentar. Aku tergopoh berlari ke kamar.

“Kenapa, Buk?” tanyaku ketika kudapati ternyata putriku masih dalam gendongan mertuaku.

“Nggak tahu, nih, tiba-tiba nangis. Daritadi nggak mau tenang.”

“Apa mungkin sudah ngompol?” tebakku.

“Tapi, ini nggak basah,” terangnya. “Mungkin capai dibedung daritadi, atau dia lapar.”

Mertuaku meletakkan si kecil di ranjang. Lantas, dengan hati-hati dibukanya bedung yang membalut tubuh putriku.

“Coba dikasih ASI, gih!” lanjutnya ketika si mungil belum juga berhenti menangis.

Kuraih si kecil yang sudah bisa bergerak-gerak bebas karena bedungannya sudah dilepas. Kutaruh dia dalam pangkuanku. Kuberi dia ASI. Tapi...

“Oeeek... oeeek...!” tangis si kecil semakin membuncah.

Aku dan mertuaku heran dibuatnya. Si kecil rupanya tak ingin ASI. Aku cek celananya tidak basah, berarti dia tidak mengompol. Lalu, apa yang terjadi, aku bingung.

Kulihat mertuaku keluar kamar. Lalu, beberapa saat kemudia dia masuk lagi.

“Nah, ini dia yang menyebabkan cucuku nangis terus,” katanya seraya menunjukkan sebuah selimut yang sedikit basah terkena gerimis.

Aku melongo tak mengerti. Kuingat tadi pagi aku memang mencucinya. Tapi, sore tadi aku tidak begitu memperhatikan bahwa ternyata selimut itu belum ikut kuangkat.

“Aku temukan jatuh. Mungkin kamu nggak lihat tadi pas angkat jemurannya,” lanjut mertuaku.

“Sudah, ya, Sayang. Ini selimutnya sudah Nenek bawa masuk. Nanti dijemur di dalam rumah dulu, ya.” Mertuaku berbisik di telinga putriku.

“Bayi memang suka begitu. Kalau sudah malam, tapi ada barangnya yang masih di luar, dia akan menangis terus. Apalagi di luar mulai hujan,” terangnya.

Aku belum sepenuhnya mengerti alasan logisnya. Tapi, aku jadi ingat. Ini adalah kepercayaan orang dulu. Ibuku juga pernah mengatakannya. Aku sendiri antara percaya dan tidak percaya. Namun, kulihat putriku kini sudah tenang, bahkan hampir tertidur. Entahlah, ini hanya kebetulan atau memang benar.


JOG, En-301214

*) cerita seorang ibu muda di kampungku



Lihat juga FTS lainnya di sini

Tuesday, April 21, 2015

Gambar Wawan

Penulis: Endar Wahyuni



“Le, kenapa menangis?” tanya Darmo ketika melihat cucunya pulang sekolah dengan air mata bercucuran.

Wawan hanya diam saja tak menjawab pertanyaan kakeknya. Namun, air matanya masih saja berlinangan. Napasnya sedikit tersengal bercampur dengan isak tangisnya.

“Sini, Le, duduk dulu!” pinta Darmo.

Wawan mengikuti saja perintah kakeknya. Dengan lemas, dia menghampiri lelaki tua yang tengah duduk malas di kursi rotan itu.

“Cerita sama Kakek sini!” Darmo masih berusaha membujuk cucunya.

Wawan tetap membisu. Tangannya kemudian meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah buku gambar. Dibukanya beberapa lembar dan berhentilah dia di lembar gambaran terakhirnya. Lantas, ditunjukkannya gambar tersebut pada sang Kakek.

“Ini PR yang kamu kerjakan kemarin sore, kan, Le?” tanya sang Kakek.

Wawan hanya mengangguk seraya mengusap air matanya. Dilihatnya kembali sebuah pemandangan keramaian pasar yang ia gambar kemarin sore. Di pojok kanan bawah kini sudah dibubuhi tanda tangan sang guru berikut nilainya. Sebuah angka delapan tampak jelas dalam pandangan siapa pun yang melihat gambar tersebut.

“Bagus, Le. Ini juga dapat nilai delapan. Terus kenapa menangis?” Darmo mengeryitkan dahinya. Sementara yang ditanya tetap diam membisu.

“Oh…, karena Kakek kemarin bilang kalau harus dapet nilai sepuluh, ya?” tebak Darmo, “Le, di dunia ini nggak ada yang sempurna. Kemarin Kakek hanya bercanda, supaya kamu punya semangat mengerjakan PR-nya. Delapan itu sudah nilai yang bagus, lho. Gurumu pasti bangga.”

“Kakek suka menggambar?” tanya Wawan.

“Hahaha…. Kakek malah nggak bisa menggambar, Le. Kakek kalah sama kamu,” jawab Darmo seraya terkekeh.

“Bapak?”

“Setahu Kakek, bapakmu nggak suka menggambar,” jawab Darmo seraya menghela napas panjang.

Tiba-tiba, Darmo teringat lagi pada menantunya yang kini entah berada di mana. Hatinya selalu pilu jika mengingat kejadian beberapa tahun silam itu.

“Jadi…, benar, Kek…, Mbak Mira itu ibuku…?”

Darmo tersentak kaget. Pikirannya tak keruan, bingung harus menjawab apa.

“Kok, kamu tanya seperti itu, Le? Kan, Kakek sudah pernah bilang kalau ibumu sedang kerja di Jakarta. Cari uang buat sekolahmu.”

“Mbak Mira ke mana-mana selalu bawa kanvas kecil dan kuas, begitu kata temanku yang bapaknya kerja di rumah sakit jiwa seberang. Dan Wawan lihat sendiri, kemarin dia kabur. Wawan juga lihat kalau dia bawa kanvas dan kuasnya.”

Wawan kembali terisak. Sejak kecil dia memang tinggal bersama kakeknya. Sang Kakek selalu mengatakan bahwa bapaknya sudah meninggal, sehingga ibunya mau tak mau harus bekerja di luar kota.

“Tadi, pas lewat depan ruang guru, Wawan mendengar beberapa Guru mengatakan bahwa bakat Wawan ini turun dari Ibu, dan mereka menyebut-nyebut nama Mbak Mira,” lanjut Wawan sedih.

Darmo menghela napas panjang. Kembali terlintas kenangan beberapa tahun yang lalu. Ketika menantunya melarang keras Mira---anak perempuannya---untuk menekuni dunia lukis. Karena Mira keras kepala, kembali melukis ketika Wawan berusia satu tahun, akhirnya menantunya itu memilih meninggalkan putrinya. Kejadian itu sangat memukul hati Mira hingga membuat Mira terganggu kejiwaannya.


JOG, En-070115



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini