Tuesday, January 20, 2015

PESTA TING TING

Penulis: Endar Wahyuni



Gamelan langgam Jawa mengalun manis. Seorang wanita berkebaya kuning emas berdiri di hadapan para undangan memamerkan cengkoknya. Di sampingku, berdiri gadis cantik berkebaya hijau. Lantas lelaki muda menghampirinya, membawa nampan besar berisi makanan ringan dan teh hangat. Gadis itu segera mengambil isi nampan satu per satu dan membagikannya pada para tamu dengan santun.

Masih menjadi adat yang kental di kampungku, sebuah perhelatan pernikahan diadakan dengan sistem piring terbang. Istilah jawanya ‘jagongan’. Semua tamu yang hadir duduk di kursi yang telah disediakan. Mengikuti acara dari pembukaan, sambutan, dan seterusnya sampai selesai. Setelah itu, baru pulang secara serentak, membuat antrian untuk berjabat tangan dengan pengantin dan keluarga kedua mempelai.

Wanita di depan sana baru saja menyelesaikan lagu campursarinya. Acara kembali dilanjutkan dengan pengajian. Seorang lelaki berbaju batik lengan panjang maju.

“Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,” salamnya.

“Wa’alaikumsalam Warahmatullaahi Wabarakaatuh,” sahut tamu undangan serempak.

Lelaki itu lambat laun bisa membawa suasana siang yang cukup panas menjadi penuh tawa. Petuah-petuah diberikannya secara ringan dan diselingi humor. Para tamu tak dapat menahan tawanya. Sementara, di pelaminan, sepasang kekasih itu pun kelihatan saling tersenyum malu-malu. Aku yang duduk paling belakang merasa iri melihat pemandangan itu.

Bokongku sudah mulai panas duduk sejak jam sepuluh tadi. Kulirik ponselku, waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah satu siang.

“Tuhan..., acaranya lama banget,” batinku.

Kudengar lelaki tadi masih asyik berbicara di depan sana. Mataku beralih ke sekitar. Beberapa orang ternyata sudah terlihat mulai jenuh. Udara sangat panas, membuat suasana semakin gerah.

“Sttt..., sttt...!” Kulihat seorang panitia tampak memberi kode pada lelaki di depan sana untuk mengakhiri ceramahnya. Waktu memang sudah molor terlalu lama. Biasanya, di tempat lain, jam segini sudah makan siang. Atau bahkan sudah pulang.

Di depan sana, lelaki itu sepertinya memahami kode yang diberikan panitia. Di sela-sela ceramahnya, tangannya memberi kode lima menit lagi.

“Beuhhh..., bakalan kelaparan, nih,” bisik temanku yang ternyata juga sudah jenuh. Aku hanya tersenyum kecut.

Lagi-lagi kulirik ponselku. Sudah lebih dari lima menit. Tapi lelaki itu masih asyik berbicara di depan sana. Panitia di belakang pun mulai risau. Beberapa sinoman kedapatan mengintip dari balik tirai. Panitia kembali mengode lelaki itu. Dan lagi, lelaki itu membalas kode dengan memperlihatkan kelima jarinya. Kupikir semua tamu mulai paham dengan kode-kode itu.

“Sial! Maksudnya lima jari itu, lima menit apa lima jam?” gerutu temanku lagi.

Ternyata para panitia dan sinoman pun sudah nggak sabar lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.45 WIB. Para tamu sudah tampak kelelahan.

Ting... ting... ting...!

Suara sendok yang sengaja diadukan dengan piring terdengar dari balik tirai pembatas. Semua tamu lantas tertawa terbahak-bahak.

“Sepertinya, teman-teman sinoman sudah selesai menyiapkan makanannya. Jadi, ceramah kali ini harus saya akhiri,” ucap lelaki penceramah itu di tengah gelak tawa para tamu.

“Hahaha..., dasar teman-teman sinoman ada saja kelakuannya,” ucap seorang panitia di belakangku sambil terkekeh.


JOG, En-141014







No comments:

Post a Comment