Monday, January 26, 2015

Darah di Rumput Hijau

Penulis: Endar Wahyuni

Pagi hari di gunung Semedi. Kicau burung bersahut-sahutan menyibak hening pagi. Mereka beterbangan mengitari pepohonan, bersendau gurau.

Sementara di kaki gunung tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam. Duduk bersimpuh dan mengambil posisi namaskara. Matanya terpejam. Mulut komat-kamit merapal doa. Di depannya, sebatang dupa yang mulai terbakar ujungnya bersanding dengan sebesek mawar merah. Tak lupa beberapa macam buah juga bulatan-bulatan nasi putih tertata rapi. Hening pagi ini menambah khusyuk doanya.

Tiba-tiba, terdengar kegaduhan dari arah lain. Semakin berisik hingga dirinya merasa terusik. Perlahan dia membuka mata. Lalu berjalan hati-hati, mencari dari mana arah suara itu. Langkah kakinya pun mengikuti perintah telinganya.

“Heiii! Apa yang kalian lakukan?” hardiknya menemukan kerumunan orang yang sedang melihat-lihat pepohonan.

Sontak semua orang yang berada dalam rombongan itu menoleh. Lelaki tadi memandang beringas. Dilihatnya, di antara kerumunan manusia itu ada beberapa alat penebang kayu. Barang yang selalu membuatnya geram.

“Siapa kau?” tanya salah seorang dari mereka.

“Pertanyaanku belum kalian jawab. Apa kalian hendak menebang pohon-pohon di gunung ini?”

“Apa urusannya denganmu? Jangan ikut campur! Ini tugas kami.”

“Tidak ada yang boleh menebang pohon di sini!”

“Bedebah! Sudah kubilang ini tugas kami!”

“Kau bukan pemiliknya!”

“Lalu siapa kau? Kau pemiliknya, haaa?! Berani-beraninya melarang kami.” Rombongan itu rupanya mulai naik pitam.

“Aku berasal dari sujana. Tapi, aku sudah lama tinggal di sini. Aku penjaga gunung ini. Dan pepohonan ini menjadi urusanku.”

“Kurang ajar! Minggir kau! Atau kami potong juga lehermu?!”

“Kau tak akan bisa memenggal kepalaku. Aku orang yang sakti mandraguna. Tidak ada yang bisa mengalahkanku,” sahut lelaki tadi sambil mencibir.

“Omong kosong!”

Sebelum sempat lelaki tadi menjawab, dua orang dari rombongan sudah memegangi tubuhnya. Seorang lagi mulai menyalakan gergaji. Rupanya, rombongan penebang kayu liar tadi benar-benar sudah kalap.

“Silakan,” ucap lelaki serba hitam itu dengan santainya.

Merasa diremehkan, si pemegang gergaji mendekatkan gergajinya ke leher lelaki itu. Tanpa pikir panjang, dipenggalnya kepala lelaki tadi.

Ngenggg!!!

Srakkk!

Darah mengalir deras membasahi pakaian serba hitamnya. Tubuhnya tergeletak di rerumputan dengan kepala terpisah. Orang-orang dalam rombongan tertawa penuh kemenangan. Akhirnya, aksi mereka nanti bisa aman tanpa ada yang tahu.

“Katanya orang sakti. Nyatanya mati juga. Gunung ini luas. Ayo, kita cari tempat lain saja!” perintah pemimpin rombongan.

Gelak tawa mengiringi kepergian rombongan tadi. Mereka berjalan ke atas gunung. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba terdengar hardikan dari depan mereka.

“Masih berani ke atas gunung?” tanya suara tadi.

“Ka...ka...kamu..., kamu...?”

Serentak mereka menoleh ke belakang. Jasad lelaki tadi sudah tidak ada. Bahkan rumput masih tampak hijau. Tidak ada bekas darah sedikit pun. Seketika bulu kuduk mereka berdiri.


JOG, En-191114


 
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

No comments:

Post a Comment