Thursday, January 22, 2015

LIFE (Part 20)



Ini tentang secangkir kopi yang tak sengaja kububuhi sesendok keraguan. Sedikit memang, tapi sendok yang kuputar di tengah lamunan, mampu mencampurnya sedemikian rupa, hingga membuat pagiku terasa lebih hambar.

Pagi ini---seperti biasa---kusedu kopi kesukaanku. Hujan semalam masih terasa di ujung jemari. Gigil tiada malu-malu menyusup di antaranya. Jadi, sengaja kuhadirkan kopi hangat untuk menemaniku.

Kusiapkan cangkir kosong kesayanganku, sesendok kopi, dua sendok gula, dan sesendok…, ah, tidak! Aku tidak menambahkannya apa-apa lagi. Kecuali, terakhir kutuangkan air panas, lalu kuaduk dengan sendok mungilku. Kudiamkannya sementara, pikirku supaya tidak terlalu panas. Kutarik kursi, duduk manis, lalu sejenak terbawa dalam lamunan tentangmu sebelum akhirnya aku tersadar kembali.

Kuseruput kopi pagiku. Satu seruputan pertama, hambar. Apa yang salah? Mungkin perasaanku saja. Kuseruput lagi, hambar lagi. Ah, aku harus memastikannya lagi. Ini seruputan ketiga, lagi-lagi hambar. Kuingat-ingat lagi, takarannya tadi masih sama seperti biasanya. Lalu, apa yang salah? Apa sesendok yang entah tadi? Tidak! Aku tadi sama sekali tak menambahkan apa pun lagi. Lalu?

Pagi-pagi, ampas kopi sudah berisik. Berbisik-bisik tepat di daun telinga. Membicarakan tentang rasa yang saling berbaur. Campur-aduk, tumpang-tindih dalam irama ketakutan. Menjelma dalam sebentuk keraguan. Debar-debar menjadi hambar. Ingar-bingar tak lagi terdengar. Pendar rasa hampir ambyar. “Aku sebentar lagi terkapar,” katanya nanar.

Kutemukan pesanmu pada seruputan terakhir. Ada rindu yang terhalang ragu. Ada senyum malu-malu diadang pilu. Ada aku, kamu, dan ampas kopi yang masih tersisa di gigilnya pagi.

No comments:

Post a Comment