Thursday, November 20, 2014

Titip Salam

Penulis: Endar Wahyuni

 
Taman rumah sakit sore ini tampak sedikit lengang. Kupilih satu kursi panjang di bawah pohon cemara. Di sekitarnya, hamparan bunga memberi sedikit warna pada nuansa putih tembok rumah sakit. Kusandarkan badanku, menatap kosong hingga terbawa dalam lamunan.

“Mey?”
Suara Aga mengagetkanku. Kutatap dia sejenak, lalu kutundukkan kepalaku. Dalam sekejap dia sudah duduk di sampingku. Diulurkannya sebotol air mineral kepadaku.

“Makasih....”

“Aku yang harusnya makasih sama kamu. Makasih, ya, sudah mau jenguk Mama.” Aga menatapku yang kembali menunduk.

“Maaf, ya, hari ini aku harus merepotkan kamu. Mama merengek pengin ketemu kamu,” lanjutnya.

“Nggak apa-apa. Mama kamu tadi cerita, katanya kamu diterima kerja di Jakarta, ya?” tanyaku mencari topik pembicaraan lain.

“Iya, masih minggu depan aku berangkatnya. Semoga Mama sudah baikan,” jawab Aga pelan.

“Aamiin....”

“Mey?”

“Ya...?” Kulirik Aga, rupaya dia tengah menatapku.

“Gimana kabar kamu?”

“Baik,” jawabku singkat.

Kami berdua lantas terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri sibuk menata hati. Sibuk memikirkan bagaimana bersikap wajar di hadapan orang yang masih sangat kucintai. Sibuk menyembunyikan mendung yang terus menggelayuti hatiku.

Dan Aga....

Entah apa yang ada dalam pikirannya. Entah tentang mamanya. Atau tentang kerjaan barunya. Atau..., ah, entahlah. Aku tidak mau menebak terlalu jauh. Yang ada hanya membuat hatiku semakin pilu. Ini harus kuakhiri. Termasuk perasaan ini. Sudah bukan waktu dan tempatnya lagi. Aku mendesah penuh kekecewaan.

“Ga, aku pulang dulu, ya. Titip salam buat mamamu. Semoga lekas sembuh,” pamitku yang merasa mulai tidak nyaman dengan situasi ini.

“Kok, buru-buru, Mey? Ada acara, ya?”

Aku hanya mengangguk. Walau sebenarnya, jika kuingat lagi, aku sama sekali tak punya acara sore ini. Tapi, aku tak bisa berlama-lama di tempat ini. Apalagi bersama Aga.

“Ya, sudah..., hati-hati di jalan, Mey. Salam buat keluarga di rumah, ya!” ucap Aga seraya memamerkan senyumnya. Senyum yang dulu selalu melumerkan kemarahanku.

“Oh, ya..., titip salam juga, ya. Buat perempuanmu...,” ucapku sedikit ragu.

Angga tersentak kaget. Ditatapnya aku lekat-lekat. Aku kelimpungan menyembunyikan air mata yang hampir tumpah.

“Duluan, Ga,” pamitku lagi dan segera berlalu.

Di sepanjang jalan menuju parkiran pipiku basah. Rupanya bulir-bulir ini tak sanggup lagi bersembunyi di balik pelupuk. Buncah, tumpah ruah dalam pasrah.


JOG, En-201114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

 

No comments:

Post a Comment