Thursday, November 27, 2014

Senja Terakhir

Penulis: Endar Wahyuni


Kangen senja ^_^
Ini  senja terakhir kita, please datang  :’)
                               
Kubuka lagi pesan dari Bima satu jam yang lalu. Lantas kulirik jam tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun, Bima tak kunjung datang jua.

Angin pantai berembus kencang. Sore sebentar lagi berganti senja. Kunikmati debur ombak yang tak hentinya mencumbu pasir pesisir. Matahari mulai merangkak turun, membuat sore semakin teduh. Kuhirup aroma angin pantai. Aroma yang menjadi begitu kental beberapa musim terakhir. Entah sejak kapan aku menyukainya. Mungkin hanya karena terbiasa saja. Karena, sejatinya aku bukan pecinta senja. Aku lebih suka menikmati pantai di pagi hari, saat matahari mengenalkan diri.

“Hei..., sudah lama, ya?” Bima tiba-tiba mengejutkanku.

“Kebiasaan, sih, molor. Senjanya hampir habis, tuh!” protesku.

Lelaki itu lantas duduk di sampingku. Dia menatapku sejenak, lalu pandangannya beralih ke bibir laut. Kami saling terdiam, menikmati pikiran masing-masing.

“Nggak nyangka, ya, waktu berjalan cepet banget,” ucapnya memecah keheningan.

“Iya, nggak nyangka juga sebentar lagi kamu udah nikah. Cie..., cie..., senengnya,” godaku.

“Hahaha..., berkat kamu juga, kan? Buru-buru nyusul, gih!” Gantian Bima yang menggodaku.

Aku hanya bisa nyengir mendengar selorohnya.

“Hemmm..., terima kasih, ya, Mey. Aku akui, kamu super duper segalanya, deh,” lanjutnya.

“Biasa aja kali, Bim!”

“Eh, serius ini. Dari awal hubunganku dengannya, kamu selalu support. Bersedia 24 jam kuganggu cuma gara-gara datang virus galau. Sampai---“

“Sampai bukan cewekmu yang meminta segera dinikahi. Tapi, aku yang memaksamu segera melamarnya,” ledekku memotong pembicaraan Bima.

“Hahaha..., iya, iya. Jadi, bener, kan? Kamu memang hebat. Bisa meyakinkan aku untuk lebih serius lagi.” Bima terkekeh.

“Apa, sih, yang nggak buat kamu? Intinya, aku seneng lihat kamu bahagia. Aku  yakin dia adalah pilihan yang tepat. Wanita hebat yang akan berada di sampingmu selamanya.”

“Idiihhh, kenapa jadi sendu gitu ngomongnya?” ledek Bima.

“Hadeh, ngerusak suasana aja kamu, Bim. Orang lagi belajar ngomong romantis gini.” Aku pasang muka cemberut.

“Jelek banget mukanya. Jomblo terus kapok!” goda Bima. “Tapi, makasih, ya, gara-gara kamu, aku nggak jadi sama cewek nggak bener itu.”

“Nggak usah sebut dia lagi. Yang penting sekarang kamu sudah sama orang yang lebih baik,” ujarku.

“Hehehe..., untung, ya, kamu mengingatkan aku supaya nggak terjebak permainannya. Sudahlah, bener katamu. Sekarang yang penting aku sudah menemukan orang yang tepat,” balas Bima.

“Dan sebentar lagi menikah.” Kulirik Bima seraya tersenyum.

Kami berdua lantas tertawa bersama sambil menikmati senja yang hampir habis. Layaknya senjaku bersama Bima yang sebentar lagi berakhir juga. Hari-hari selanjutnya, tak ‘kan ada lagi tawa kami mengalahkan debur ombak yang airnya ikut berwarna keemasan. Tak ‘kan ada lagi cerita-cerita mengalir ikut mewarnai siluet merah jingganya cakrawala. Dan mungkin aku akan kembali pada gigilnya pantai pagi hari, sendirian.

“Mey, sekali lagi makasih buat semuanya, ya. Buat dukungan kamu selama ini. Buat kebaikan dan kesabaran kamu. Termasuk buat tawa-tawa kita.” Bima terdiam sejenak.

“Dan aku..., aku minta maaf. Atas apa pun yang pernah terjadi di antara kita. Aku minta maaf pernah menyakitimu. Pernah membuatmu masuk ke dalam suasana yang tidak mengenakkan,” lanjut Bima.

“Sudahlah, Bim. Toh, itu sudah masa lalu. Semoga kita sama-sama bisa mengambil hikmah dari setiap masalah yang ada. Nggak ada alasan buat kita nggak bahagia,” tegasku.

“Iya, intinya aku minta maaf atas hubungan kita dulu. Dan..., makasih kamu tetap mau menjadi sahabatku.”

“Sudah azan, pulang aja, yuk! Sebentar lagi gelap,” ucapku mengakhiri perbincangan kami.

Bima mengangguk. Kami lantas berjalan menuju tempat parkir dan mengambil motor masing-masing.

“Duluan, ya!” pamit Bima yang melihatku masih sibuk mengotak-atik ponselku.

Aku hanya mengangguk pelan. Sengaja kusibukkan diriku dengan ponsel. Aku memang ingin Bima pulang lebih dahulu.

Bima telah meninggalkanku lima menit yang lalu. Kumatikan mesin motor yang tadi pura-pura kupanasi. Aku kembali ke pantai. Mataku mulai berkaca-kaca.

“Kita berhak bahagia,” ucapku lirih seraya melemparkan sebuah liontin berbentuk stroberi ke laut lepas.

Liontin yang di bagian belakang terukir tulisan ‘B&M’ itu hilang ditelan ombak. Tangisku buncah seketika. Liontin hadiah ulang tahunku dari Bima, senyum Bima, senja milik Bima, dan hubungan kami yang harus berakhir karena perbedaan kepercayaan seketika menguak kembali dalam ingatan. Mengusik hatiku yang semula sudah kutata rapi. Berharap akan tak ‘kan terkoyak lagi. Namun, nyatanya aku tetaplah seorang wanita yang rapuh oleh perasaanku sendiri.


JOG, En-271114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

 

No comments:

Post a Comment