Thursday, November 20, 2014

MAAFKAN AKU

Penulis: Endar Wahyuni 


            Malam ini sengaja kutunggu Mas Pram di beranda rumah sembari menyedu teh hangat. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Mas Pram belum kelihatan juga. Satu jam yang lalu dia meneleponku, katanya baru dalam perjalanan. Mungkin macet, pikirku.

Untuk menghilangkan kejenuhan, kuambil novel yang baru saja kubeli tadi siang. Sedikit demi sedikit mulai kulahap halaman per halamannya. Lampu beranda rumah memang sedikit redup. Namun, aku masih bisa membaca novelku dengan jelas.

“Kok nunggu di sini, Sayang?” Tiba-tiba Mas Pram sudah berdiri di hadapanku.

“Lah, motornya mana, Mas?” tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya.

“Bocor pas di depan rumah Pak Dul. Nggak ada bengkel yang buka. Bengkelnya si Ali pun sudah tutup. Aku titipin dulu di rumah Pak Dul. Besok pagi baru dorong ke bengkelnya Ali,” jelas Mas Pram panjang lebar.

“Masuk, yuk. Udara di luar dingin. Nggak baik,” ajak  Mas Pram.

Aku mengangguk pelan. Kututup novelku, sebelumnya kulipat sebagian kecil halamannya untuk memberi tanda.

“Kan, udah dibilang, kalau baca buku di tempat yang cahayanya bagus. Jangan ngeyel!” Mas Pram melirik novelku.

Ah, lagi-lagi aku harus mendengar omelan Mas Pram tentang hal-hal kecil seperti ini. Bosan? Nggak juga, sih. Karena, suatu saat pasti akan sangat kurindukan hal-hal seperti ini. Kupeluk tangan kanan Mas Pram. Kami berdua beriringan masuk ke rumah.

“Aku punya sesuatu buat kamu,” ucap Mas Pram ketika kami sudah masuk ke kamar.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Taraaa....!” Mas Pram mengeluarkan satu kartu ATM dari dalam dompetnya.

“Ini kartu ATM buat kamu. Sengaja Mas buatkan supaya kamu lebih gampang ambil uangnya dan lebih aman juga,” terang Mas Pram.

“Dasar lelaki pengkhianat!” teriakku sambil menangis hebat.

Mas Pram hanya melongo. Sepertinya dia bingung apa yang terjadi padaku. Kuambil dompet di tangannya. Kubuka lebar-lebar. Kuperlihatkan jelas di depan matanya. Terpampang satu foto perempuan yang aku tahu itu bukan aku. Hatiku panas, dadaku bergemuruh tak karuan. Aku benar-benar kalut. Aku menangis sejadi-jadinya. Mas Pram berusaha memelukku, tapi dengan sekejap kutepis. Dia lantas terdiam duduk di sampingku, membiarkanku puas dengan tangisanku.

“Apa salahku, Mas? Hingga kamu tega ngelakuin ini?” tanyaku dengan emosi meledak-ledak.

“Salahmu..., kamu nggak tanya dulu siapa dia,” jawab Mas Pram tenang.

Aku memandang tajam ke arahnya. Tangisku kembali buncah bersama amarah yang semakin meradang. Kulihat Mas Pram malah tersenyum lembut seolah ingin menenangkanku seperti hari-hari sebelumnya ketika terjadi keributan. Ini bukan perkara kecil lagi. Apa Mas Pram pikir dia akan mampu meluluhkanku dengan jurus andalan sehari-harinya. Aku semakin kalap.

“Kalau sudah cemburunya, aku jelaskan. Dia teman kuliah dulu, yang mau aku kenalkan ke sepupu kamu. Kan, kamu sendiri yang bilang mau nyariin jodoh buat sepupumu,” papar Mas Pram.

Sontak aku langsung menatapnya. Menatap wajah tenang yang selalu sabar mendampingiku satu tahun belakangan ini, walau kami belum juga dikaruniai momongan. Tangisku kembali buncah. Namun, kali ini tumpah ruah dalam dekapannya.

“Maafkan aku, ya, Mas!” pintaku seraya mengeratkan pelukanku.


JOG, En-201114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

 

No comments:

Post a Comment