Sunday, December 14, 2014

LIFE (Part 15)

Terlambat. Harusnya tak pernah ada kata itu. Harusnya kita sama-sama berada di gubuk. Sebelum pakaian-pakaian kita basah. Kuyup tetesan hujan yang bertubi.

Seperti biasa, sore itu mendung menggelantung. Di utara langit pekat menghitam. Sedang kita? Kita sama-sama sedang mencari kayu bakar untuk perapian nanti malam.

Lantas, saking asyiknya, sepertinya kita lupa pada kain hitam berukir kuning keemasan yang kita tanggalkan. Kita tinggalkan berbaris rapi di samping gubuk. Kain yang bakal kita kenakan nanti, saat semua orang memandang iri pada kita.

Kilat mulai mencuat, petir menggetirkan. Keduanya datang silih berganti mengingatkan. Tapi, entah apa yang terjadi. Kita abaikan begitu saja. Atau, kita memang benar-benar lupa? Seburuk itukah ingatan kita, hingga lupa pada baju yang akan kita kenangkan?

Langit benar-benar menangis. Buncah bersama senja yang luput menjingga. Dan kita masih asyik di kebun menjumputi kayu bakar.

Hingga kita merasa benar-benar kedinginan. Kain yang kita kenakan menempel lembab di tubuh. Baru kita sadari, hujan telah datang, mengguyur ladang, kebun, dan halaman. Oh... halaman? Itu artinya halaman gubuk kita pun demikian. Tidak...!!!

Aku tergopoh, berlari meninggalkanmu yang masih asyik berteduh di bawah pelepah daun pisang. Terengah-engah, tiba aku di pelataran. Nanar pandangku pada selarik jemuran. Beberapa pasang kain yang berjajar rapi, semuanya sudah basah tak terselamatkan. Bulir bening mengalir bersama hujan yang semakin deras, menyesali kebodohanku, atau mungkin ketidakpedulian kita.

Dalam kecewa yang tak lagi terkira, kupungut satu demi satu lembarannya, hati-hati. Hitamnya semakin pekat, namun layu dipeluk hujan. Kuyup dalam penantian pedulinya si empunya, namun nihil.

Di dalam gubug, kutanggalkan lagi satu per satu bersama keyakinan, nanti pasti kering juga. Setelahnya, kurebus air dan menunggu kau kembali. Kusiapkan seduan teh hangat kesukaanmu, supaya sedikit menolongmu dari gigil yang semakin merasuk. Tunggu kutunggu, namun kau tak juga muncul di depan pintu. Sampai tanganku sudah pegal mengipasi kain kita sedari tadi, namun kau tak kunjung kembali.

Hampir tengah malam, teh petang tadi sudah dingin. Tangan sudah kesemutan. Baju sudah sedikit mengering. Namun, kau? Di mana kau?

Krekk!!!

Pintu gubug sedikit terbuka. Kepalamu menyembul dari baliknya. Tergopoh langkahmu menghampiri pakaian kita.

“Sudah hampir mengering, tidak apa-apa,” katamu dengan senyum lebar.

“Sudah apek, aku sudah malas mengeringkannya sendirian. Tanganku pun sudah tak sanggup lagi,” ucapku seraya membuang teh hangat yang tak lagi mengepul.

JOG, En-141214

No comments:

Post a Comment