Friday, September 12, 2014

TANGISAN MINGGU PAGI

Penulis: Endar Wahyuni 


“Pagi, Sayang!” Pram mengusap peluhnya. Napasnya ngos-ngosan, iramanya tak teratur. 

“Tumben jam segini baru nyampe rumah lagi, Pa?” Arum meletakkan baki di meja dekat suaminya. Teh manis dan kopi susu mengepul menawarkan aroma hangat, bersanding dengan gorengan pisang yang siap santap.

“Iya, tadi ketemu temen di jalan, malah kebanyakan ngobrol ngalor ngidul, deh.” Arum hanya manggut-manggut sambil memandang rumput di pelatarannya yang sudah tak berembun lagi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.

“Terima kasih kopi susunya, Ma,” lanjut Pram, “kamu selalu ingat kesukaanku.” Pram menyeruput kopi susunya sambil melirik wajah istrinya. Arum hanya tersenyum, lagi-lagi begitu manis di mata Pram. Tapi lama-lama senyum itu memudar, buyar, lalu lenyap dari pandangannya.

***

“Ma, kita mau ke mana, Ma?” tangis Anif pecah dalam gendongan mamanya.

“Mama mau nitipin kamu, Sayang.”

“Kasihan Papa, Ma. Papa di rumah sendirian. Anif pengen main bareng Papa!”

“Papa lagi sakit, Sayang. Nanti biar Mama yang urus Papa kamu,” bujuk Arum. Di pelukannya, Anif masih terisak. Arum bergegas melajukan mobilnya kencang melewati jalanan yang lumayan lengang.

Hari minggu, suasana bangunan putih itu tampak sepi. Hanya sesekali ada suara terdengar dari dalam. Tangisan Anif mulai reda, dia sedang memperhatikan sekeliling. Bangunan itu seperti sudah pernah dia lihat, entah di mana. Namun, baru kali ini dia merasa benar-benar mengunjungi bangunan yang telalu kaku baginya.

“Selamat pagi, Bu! Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang lelaki sembari memamerkan senyum ramahnya.

“Iya, Pak. Boleh saya menitipkan anak saya?”

“Maksud, Ibu?”

“Anak saya agak rewel, sebelum saya bicara banyak, boleh saya menitipkannya? Adakah yang bisa membantu saya?” Seorang perempuan mendekat, meraih Anif dari gendongan Arum. Anif ingin meronta, tapi perempuan tadi dengan sigap merengkuh tubuh mungilnya, mengalihkan perhatiannya ke ruangan lain.

“Lalu, apa yang ingin ibu bicarakan?”

“Saya punya satu permintaan lagi, boleh?” Lelaki di depannya hanya mengangguk, tampak bingung dan sedikit kesal.

“Itu tadi anak saya, namanya Anif. Kakek neneknya yang di sini sudah meninggal. Sedang kedua mertua saya sedang berada di Singapura untuk berobat. Tolong jaga anak saya baik-baik. Dia tidak punya sanak saudara lagi di sini.” Arum menghela napas panjang. Matanya merah, berkaca-kaca dan menyimpan kemarahan serta luka yang teramat dalam.

“Saya telah membunuhnya!” lanjut Arum lirih. Lelaki berseragam di depannya terbelalak.

“Saya racuni dia, lalu saya tusuk tepat di jantungnya. Tubuhnya saya baringkan di tempat tidur, saya selimuti dia supaya anak saya tidak curiga. Ini kunci mobil saya, juga kunci rumah saya,” Arum meletakkan dua batang kunci di meja.

“Dia sudah selingkuh dari dua bulan yang lalu, ini buktinya!” Arum kembali meletakkan satu amplop coklat besar. Lelaki gagah berseragam di depannya mengambilnya, lantas mengeluarkan isinya. Ada beberapa lembar foto mesra, satu keping CD, dan sebuah ponsel menjadi saksi bisu peristiwa yang begitu menyakitkan bagi Arum.

“Dan tadi, aku membuntutinya waktu dia lari pagi. Bapak tau? Wanita busuk itu mengabarkan bahwa dia tengah hamil, dan dia memaksa suamiku menikahinya. Aku tak mau dimadu ataupun diceraikan. Jadi biarlah aku dan wanita tak tahu malu itu sama-sama tidak memiliki Mas Pram.” Arum menangis histeris menahan luka dan amarah. Seorang polisi datang membawa borgol dan menggiringnya ke ruang tahanan.

“Jangan lupa anakku, tolong jaga dia!” teriak Arum dari kejauhan. Lagi-lagi lelaki gagah yang di atas saku seragamnya tertera nama ‘Bambang’ itu mengangguk, kali ini mengangguk pasti.


Kulon Progo, EN-070914




Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini


No comments:

Post a Comment