Thursday, September 18, 2014

KALA BIDADARI MENGGODA PAGI

Penulis: Endar Wahyuni 
             
Sinar mentari perlahan menyusup menembus jendela. Menerpa ranjang berbalut nuansa biru langit. Hardi sudah terjaga dari tadi. Sementara di sampingnya, Celia, masih pulas memungut mimpi. Sesekali Hardi menatap wajah Celia, berharap Celia segera bangun. Wajah cantik itu kian lama kian menggoda. Wajah yang selalu dirindunya setiap detik. Jarum jam terus berputar, Hardi tak sabar lagi menunggu Celia bangun.

“Celia, bangun, Sayang!” Hardi berbisik perlahan, lalu dengan lembut mengecup kening Celia. Rupanya Celia belum  tergoda untuk membuka matanya. Hardi masih punya satu cara lagi, digelitiknya perut Celia. Kali ini Celia mulai menggeliat, bibirnya mulai bergerak-gerak. Aihh..., bibir mungilnya begitu menggiurkan.

“Pagi, Cantik!” bisik Hardi sekali lagi. Kali ini satu kecup lembut bersarang di bibir merah Celia, pemilik wajah cantik itu lagi-lagi menggeliat. Hardi semakin gemas dibuatnya. Digelitiknya kembali Celia, tidak hanya bagian perutnya saja, tetapi seluruh tubuhnya. Celia tak tahan geli. Tawanya pecah, semakin menggemaskan. Tangan Celia terus mengejar tangan Hardi yang tiada henti menggelitikinya. Tapi, seakan ingin terus mencumbu indahnya pagi, Hardi masih terus menggoda Celia.

Happ!!!

Tangan kanan Hardi berhasil dalam genggaman Celia. Tapi, tangan kiri Hardi mulai menggantikan aksi si tangan kanan. Celia membalikkan tubuhnya, berharap tangan kiri lelakinya itu tidak bisa bermain-main di sekitar perutnya. Namun, kali ini Hardi dengan cepat mendaratkan ciumannya ke pipi tembem Celia. Celia tertawa manja. Hardi menyukai ini, tawa Celia yang selalu membangkitkan gairahnya. Ah ..., betapa cantik tawanya, terdengar memikat di telinga. Lagi dan lagi, Hardi selalu ingin mendengar tawa yang selalu menawan rindunya.

Celia kali ini sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dibiarkannya Hardi yang mulai bermain-main dengan hidung mancungnya. Celia tersenyum manis, matanya perlahan menutup seiring hidung Hardi yang beradu dengan hidungnya.

“Ayah...!” Hardi kaget mendengar suara Pipit, istrinya. Sejenak dihiraukannya senyum manyun Celia. Ternyata, Pipit sudah di depan pintu. Tanpa disadarinya, Pipit sudah dari tadi memperhatikan kemesraannya, bermain-main dengan tubuh Celia. Hardi tersenyum masam, menghela napasnya panjang. Harus disudahi, pikirnya.

“Ayah, ditunggu-tunggu dari tadi kok malah main-main dulu, sih? Airnya keburu dingin, tuh! Kasihan Celia kalau kedinginan,” lanjut Pipit seraya membopong putri mungilnya. Bersiap memandikan Celia, bidadari kecilnya.


Kulon Progo, EN-180914





Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini


No comments:

Post a Comment