“Ketika Cinta
Selalu Pulang.” Ya, sepertinya aku harus memercayai kalimat yang secara nggak
sengaja kutemukan di sebuah film romantis itu. Bagaimana tidak? Cinta memang
selalu pulang. Seperti janjimu sebelum kepergianmu. Kita, aku dan kamu pasti
kembali, dan akan selalu kembali.
Malam itu kamu
benar-benar kembali. Saat pendar rembulan hilang ditelan mendung. Saat gerimis
membungkus kotaku. Saat aku hampir merasa tak sanggup lagi melipat rindu. Kamu
datang. Ya, kamu benar-benar pulang menemuiku.
“Singgah saja
atau benar-benar pulang?” gurauku menyambut kedatanganmu di malam tanpa
bintang. Kamu hanya terkekeh tanpa menjawab apa pun.
Tenang. Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tubuhmu tampak kelelahan. Jadi, yang harus kulakukan adalah menyediakan tempat ternyaman bagimu. Tidurlah sepuasnya, selelap mungkin di rumah ini, tempat yang kuharap benar-benar menjadi peraduan terakhirmu.
Tenang. Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tubuhmu tampak kelelahan. Jadi, yang harus kulakukan adalah menyediakan tempat ternyaman bagimu. Tidurlah sepuasnya, selelap mungkin di rumah ini, tempat yang kuharap benar-benar menjadi peraduan terakhirmu.
Malam demi
malam akhirnya kita lewati lagi. Bersama bermandikan kilau rembulan di balkon
kesayangan. Menghabiskan kopiku juga susu putih kesukaanmu. Bercengkerama
sepuasnya, memadu kasih memadankan kisah. Sampai di malam yang hampir purnama
itu...
“Adakah kamu
temui hunian baru selama perjalananmu pergi sampai pulang lagi?” Kali ini aku
berucap datar. Tak ada sedikit pun nada gurauan lagi. Yang ada hanya pilu di
balik hati yang terus menerka-nerka.
Sontak matamu
kini benar-benar tajam menatapku penuh selidik. Dan aku tahu itu juga merupakan
sebuah simbol pertanyaan.
“Kamu tak
pernah benar-benar pulang. Bahkan pertanyaan ‘kapan’ yang selalu kutanyakan tak
pernah kudapatkan jawabannya,” keluhku tanpa menunggu pertanyaan ‘kenapa
bertanya seperti tadi’-mu itu.
“Aku hanya
belum bisa memastikan akan tidur di mana purnama nanti,” jawabmu setelah sekian
lama bungkam.
Aku menatapmu
kosong. Tidak ada air mata buncah kali ini. Karena kemarin lusa aku telah
menyiapkan hati untuk semua ini. Aku tahu bahwa cepat atau lambat pilihan
terbaikku adalah mundur.
“Maaf, mungkin
sebaiknya sekarang kamu pulang ke rumahmu sebenarnya. Sebentar lagi purnama.
Aku memilih menutup pintu dan jendela-jendela rumah ini.”
“Hei, tidak
bolehkah aku tetap di berandamu untuk berpikir.
Sampai aku benar-benar tahu rumah mana yang merupakan tempat terbaik untuk persinggahanku di purnama nanti?”
“Rumahku bukan
tempat berteduh atau singgah sementara.” Kusodorkan sebuah kain berwana merah
bata padamu. “Semoga ini mampu menemanimu, menjadi tempatmu kembali bersimpuh, di rumah mana
pun kamu pulang nanti.”
Kali ini aku
benar-benar mengatupkan daun-daun jendela pun daun pintu. Membiarkanmu pergi
mungkin memang pilihan terbaik. Karena memaksamu pulang tidak akan menyenangkan
bila nyatanya saat kamu terlelap aku masih terjaga menimang air mata. Aku tidak
pernah menyesal. Cinta memang selalu pulang. Pulang ke tempat terbaiknya. Dan
aku pun akan pulang menemui cinta terbaikku.
JOG, En-280215
Baca dari awal juga, ya...
Silakan kunjungi Cinta Selalu Pulang (1)
No comments:
Post a Comment