Ini hanya tentang aku yang tiba-tiba kewalahan membendung
perasaan. Hingga banjir pun melanda rumah kita yang awalnya baik-baik saja. Banjir
keluhan, banjir rasa kecewa, banjir rasa dongkol, banjir kesedihan, semuanya
menyatu dalam banjiran air mata di pipi. Dan kau tahu sesungguhnya apa yang
menyebabkan banjir itu?
Seperti halnya sungai yang meluap karena sumbatan sampah,
pun tak lain dengan pipi yang kebanjiran bulir-bulir bening. Rindu yang
bertumpuk-tumpuk, menggunung memenuhi dada hingga waktu tak lagi mampu
membendungnya. Jadilah basah pipi ini, air meluap hebat membawa bermacam
perasaan.
Kukatakan lagi, ini hanya tentang aku yang tiba-tiba
kewalahan membendung perasaan. Karena, sejak jauh-jauh hari aku sudah mengerti,
ketika aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa ini, maka harus ada perasaan lain
yang dikorbankan. Seperti saat ini, kau harus bersuka rela mengorbankan sabarmu
hanya untuk mendengarkan ocehanku bahkan omelan yang aku yakin sangat membuatmu
merasa tidak nyaman.
Harusnya, aku bangun bendungan yang lebih kuat lagi.
Harusnya, aku bangun bilik yang lebih besar lagi. Supaya aku bisa
menyembunyikan perasaan ini rapat-rapat (lagi). Supaya jika dia makin menjadi
dan hampir meluap, aku masih bisa membendungnya, paling tidak untuk mengamankan
perasaan lain, terutama menyelamatkan sabarmu.
Namun, aku sendiri tak yakin bisa membuatnya. Toh,sudah
kucoba beberapa kali, ternyata hanya dalam hitungan jari bendunganku roboh,
bilikku berantakan. Bisakah kau membantuku?
Tidak. Aku tidak memintamu membangun bendungan apalagi bilik
persembunyian. Karena, aku tahu kau tidak bakalan setuju. Tapi, aku minta kau bersedia
membantuku, kita sama-sama membuat pagar untuk rumah kita. Supaya kita bisa
sama-sama menyelamatkan rumah kita. Sampai kita menua bersama dan bersama-sama
menghabiskan masa tua. Sampai anak, cucu, buyut, dan seterusnya terus
meramaikan rumah kita dengan canda tawa. Bisakah?
No comments:
Post a Comment