Penulis: Endar Wahyuni
“Selamat ulang tahun, Sayang!” ucap Joe seraya menyodorkan sebuah
kotak terbalut kertas kado warna ungu.
“Makasih, Sayang....”
Kuterima kado darinya seraya tersenyum simpul. Joe lantas duduk di
sampingku. Sore ini cukup cerah. Sebelumnya, kami berdua memang sepakat bertemu
di taman kota. Tak ada kue maupun perayaan. Menikmati sore bersama Joe saja
sudah cukup bagiku.
“Buka, deh! Tapi, jangan dilihat dari isinya, ya,” pinta Joe.
Perlahan kubuka kotak berukuran sedang itu. Lantas pandanganku
beralih pada Joe yang sedari tadi memperhatikanku. Kukerlingkan mataku, pasang
tampang manja. Aku tersenyum simpul melihat kembali isi kotak. Sebuah selimut
tebal warna ungu kesukaanku dan...
“Sengaja selimut. Biar setiap malam seolah-olah aku bisa
menghangatkanmu,” tutur Joe diikuti gelak tawanya.
“Idiiihhh, gombalan model jaman kapan, tuh?” ledekku. “Kalau ini?”
Kuambil beberapa bungkus kertas origami dari dalam kotak tadi.
“Kata orang, kalau kita bisa membuat seribu origami burung bangau,
nanti permintaan kita akan terkabul. Nah, aku pengin kita bareng-bareng
buatnya. Tapi, sebelum dilipat, kita tulis dulu harapan kita di kertas itu.
Satu kertas satu harapan,” terang Joe.
“Mitos!” tukasku.
“Ini bukan tentang mitos. Aku hanya ingin kalau tua nanti, pas
kita buka lagi kertasnya, kita bisa ingat lagi masa-masa ini. Selain itu,
harapan yang kita tulis bisa jadi penyemangat buat kita sekarang.”
“Iya, iya....”
“Nanti taruh kamarmu saja, ya. Bisa dijadikan hiasan pintu atau
jendela, nanti digantung. Gimana?”
“Siap, Sayang!” Kuacungkan jempol dan tersenyum lebar.
“Anak pintar,” goda Joe seraya mencubit hidung mungilku.
Aku berusaha menghindari cubitan Joe, namun gagal. Dia terus saja
menggodaku. Kami lantas tertawa bersama.
“Sayang, ayo berangkat sekarang!” Suara Mama dari balik pintu
membuyarkan lamunanku tentang kebersamaan dengan Joe beberapa bulan silam.
“Iya, Ma. Tunggu!” Kuseka bulir-bulir bening di pipi.
Rupanya, cukup lama aku menangis sendirian di kamar. Bahkan baju
hitam yang kukenakan pun sebagian telah kuyup air mata. Selimut ungu dalam
pangkuan pun ikut lembap.
“Ini kertas terakhir, Sayang. Kamu jahat! Membiarkanku
menyelesaikan burung-burungan ini sendirian,” ucapku lirih.
Tangisku kembali buncah mengiringi pena yang menari-nari di atas
kertas origami berwarna ungu. Kertas terakhir. Artinya, permintaan terakhir
yang akan kutulis. Berharap burung-burung ini sampaikan semua pada Tuhan. Dan
kelak, entah kapan, entah di dunia atau di surga, Tuhan berkenan mengabulkannya.
JOE,
BANGUNLAH, SAYANG! LUPAKAH KAU? HARI INI HARI PERNIKAHAN KITA?
Kulipat kertas ungu itu membentuk burung bangau. Origami terakhir
yang telah kami perhitungkan jauh-jauh hari, yang harusnya kami buat bersama.
"Ah, haruskah kusalahkan takdir Tuhan?" gumamku
mengingat kecelakaan yang menimpa Joe sepulang dari rumahku semalam.
JOG, En-031214
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment