Penulis: Endar Wahyuni
Hanya tersisa
aku dan dia di ruangan ini. Perempuan yang paling kusayangi setelah ibuku.
Paras ayunya berkolaborasi manis dengan senyum yang selalu menenangkan.
Memandanginya, berada di dekatnya adalah salah satu hal terindah yang pernah
kumiliki. Aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya. Aku menyayanginya. Sunguh,
aku benar-benar menyayanginya.
Tapi, kali ini
ada yang berbeda. Sedikit rasa tak nyaman menyelinap. Aku mencemaskan sesuatu
yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Aku tahu, jauh dalam hatinya pasti ada
rasa sedih yang mendalam, yang tak pernah bisa diungkapkannya. Dan aku pun
tahu, senyum yang mengembang siang tadi hanyalah payung bagi hati yang hampir
kuyup terguyur pedih.
“Aku tahu ini
sulit bagimu, juga bagiku. Tapi, sejujurnya aku pun tak ingin menyakitimu. Aku
menyayangimu. Namun, di sisi lain aku pun sangat mencintainya.” Kutatap wajah
sayu yang tengah menikmati senja lewat jendela ruangan.
“Harusnya
memang tak seperti ini!”
Kuhela napas
panjang. Bagaimana aku harus menjelaskan ini? Bahkan, ‘pabila aku berada di
posisinya, aku belum tentu bisa setegar dia. Bisa jadi aku sudah ngamuk duluan.
Membabi-buta, mengutuk Tuhan atas ketidakadilan ini. Tapi sekali lagi, dengan
tenang dia menyaksikan pertunanganku tadi siang. Selengkung senyum menghiasi wajah
riangnya---yang sebenarnya dibuat sedemikian rupa agar tampak bahagia.
“Terlalu
egoiskah aku? Hingga aku tak memikirkan hati perempuan yang sangat kucintai?”
Aku ikut menyimak wajah cakrawala yang kian menjingga. Apatah ini hari-hari
terakhir yang bisa kunikmati bersamanya? Tinggal berapa hitungan jari lagi?
Siang tadi keluarga tunanganku meminta untuk mempercepat pernikahan ini.
Sialnya, Bapak dan Ibu menyetujuinya. Hey, tidakkah mereka memikirkan perempuan
yang kini tengah bersamaku menghabiskan senja-senja terakhir ini?
“Kamu tidak
egois. Tapi, mungkin akan lebih baik jika semua ini tidak terjadi. Atau kau
bisa meminta mengundurkan tanggal pernikahanmu. Setidaknya sampai semua siap
menerima luka ini.”
“Tapi, itu
sama sekali tak bisa kulakukan. Aku takut menyinggung keluarganya.”
“Kalau begitu
memang sudah jalannya seperti ini, harus ada yang tersakiti.”
“Tidak! Aku
tak ingin menyakiti siapa pun. Hanya saja.... Arggghhh...!” Aku menelungkupkan
kedua telapak tangan tepat di wajah. Aku sama sekali tak mengerti dengan semua
ini.
“Dek, kenapa
sedih gitu? Takut, ya, nggak bisa melihat senja bersama Mbak lagi?” goda
perempuan itu mengakhiri pergulatan batinku. “Mau menikah, kok, sedih. Nggak
boleh gitu, dong,” lanjutnya seraya memelukku. Matahari telah mencapai
peraduannya. Kini hanya kerlip lampu rumah-rumah dan jalanan yang terlihat dari
jendela kamar kami.
“Maafkan aku,
ya, Mbak,” ucapku lirih dan balas memeluknya.
“Nggak
apa-apa. Jodoh di tangan Tuhan. Doain saja supaya Mbak cepet nyusul kamu,”
jawabnya sambil tersenyum manis. Disekanya air mataku lalu dicubitnya hidung
mungilku. Aku pasang tampang cemberut diiringi tawanya yang pecah. Tawa
tempatnya bersembunyi sejak siang tadi.
JOG, En-010315
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment