Gamelan langgam Jawa mengalun manis. Seorang
wanita berkebaya kuning emas berdiri di hadapan para undangan memamerkan
cengkoknya. Di sampingku, berdiri gadis cantik berkebaya hijau. Lantas lelaki
muda menghampirinya, membawa nampan besar berisi makanan ringan dan teh hangat.
Gadis itu segera mengambil isi nampan satu per satu dan membagikannya pada para
tamu dengan santun.
Masih menjadi adat yang kental di kampungku,
sebuah perhelatan pernikahan diadakan dengan sistem piring terbang. Istilah
jawanya ‘jagongan’. Semua tamu yang hadir duduk di kursi yang telah disediakan.
Mengikuti acara dari pembukaan, sambutan, dan seterusnya sampai selesai.
Setelah itu, baru pulang secara serentak, membuat antrian untuk berjabat tangan
dengan pengantin dan keluarga kedua mempelai.
Wanita di depan sana baru saja menyelesaikan lagu
campursarinya. Acara kembali dilanjutkan dengan pengajian. Seorang lelaki
berbaju batik lengan panjang maju.
“Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,”
salamnya.
“Wa’alaikumsalam Warahmatullaahi Wabarakaatuh,”
sahut tamu undangan serempak.
Lelaki itu lambat laun bisa membawa suasana siang
yang cukup panas menjadi penuh tawa. Petuah-petuah diberikannya secara ringan
dan diselingi humor. Para tamu tak dapat menahan tawanya. Sementara, di
pelaminan, sepasang kekasih itu pun kelihatan saling tersenyum malu-malu. Aku
yang duduk paling belakang merasa iri melihat pemandangan itu.
Bokongku sudah mulai panas duduk sejak jam
sepuluh tadi. Kulirik ponselku, waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah
satu siang.
“Tuhan..., acaranya lama banget,” batinku.
Kudengar lelaki tadi masih asyik berbicara di
depan sana. Mataku beralih ke sekitar. Beberapa orang ternyata sudah terlihat
mulai jenuh. Udara sangat panas, membuat suasana semakin gerah.
“Sttt..., sttt...!” Kulihat seorang panitia
tampak memberi kode pada lelaki di depan sana untuk mengakhiri ceramahnya.
Waktu memang sudah molor terlalu lama. Biasanya, di tempat lain, jam segini
sudah makan siang. Atau bahkan sudah pulang.
Di depan sana, lelaki itu sepertinya memahami
kode yang diberikan panitia. Di sela-sela ceramahnya, tangannya memberi kode
lima menit lagi.
“Beuhhh..., bakalan kelaparan, nih,” bisik
temanku yang ternyata juga sudah jenuh. Aku hanya tersenyum kecut.
Lagi-lagi kulirik ponselku. Sudah lebih dari lima
menit. Tapi lelaki itu masih asyik berbicara di depan sana. Panitia di belakang
pun mulai risau. Beberapa sinoman kedapatan mengintip dari balik tirai. Panitia
kembali mengode lelaki itu. Dan lagi, lelaki itu membalas kode dengan
memperlihatkan kelima jarinya. Kupikir semua tamu mulai paham dengan kode-kode
itu.
“Sial! Maksudnya lima jari itu, lima menit apa
lima jam?” gerutu temanku lagi.
Ternyata para panitia dan sinoman pun sudah nggak
sabar lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.45 WIB. Para tamu sudah tampak
kelelahan.
Ting... ting... ting...!
Suara sendok yang sengaja diadukan dengan piring
terdengar dari balik tirai pembatas. Semua tamu lantas tertawa terbahak-bahak.
“Sepertinya, teman-teman sinoman sudah selesai
menyiapkan makanannya. Jadi, ceramah kali ini harus saya akhiri,” ucap lelaki
penceramah itu di tengah gelak tawa para tamu.
“Hahaha..., dasar teman-teman sinoman ada saja
kelakuannya,” ucap seorang panitia di belakangku sambil terkekeh.
JOG, En-141014
No comments:
Post a Comment