Penulis: Endar Wahyuni
Pagi hari di gunung Semedi. Kicau burung bersahut-sahutan menyibak
hening pagi. Mereka beterbangan mengitari pepohonan, bersendau gurau.
Sementara di kaki gunung tampak seorang lelaki berpakaian serba
hitam. Duduk bersimpuh dan mengambil posisi namaskara. Matanya terpejam. Mulut
komat-kamit merapal doa. Di depannya, sebatang dupa yang mulai terbakar
ujungnya bersanding dengan sebesek mawar merah. Tak lupa beberapa macam buah
juga bulatan-bulatan nasi putih tertata rapi. Hening pagi ini menambah khusyuk
doanya.
Tiba-tiba, terdengar kegaduhan dari arah lain. Semakin berisik
hingga dirinya merasa terusik. Perlahan dia membuka mata. Lalu berjalan
hati-hati, mencari dari mana arah suara itu. Langkah kakinya pun mengikuti
perintah telinganya.
“Heiii! Apa yang kalian lakukan?” hardiknya menemukan kerumunan
orang yang sedang melihat-lihat pepohonan.
Sontak semua orang yang berada dalam rombongan itu menoleh. Lelaki
tadi memandang beringas. Dilihatnya, di antara kerumunan manusia itu ada
beberapa alat penebang kayu. Barang yang selalu membuatnya geram.
“Siapa kau?” tanya salah seorang dari mereka.
“Pertanyaanku belum kalian jawab. Apa kalian hendak menebang
pohon-pohon di gunung ini?”
“Apa urusannya denganmu? Jangan ikut campur! Ini tugas kami.”
“Tidak ada yang boleh menebang pohon di sini!”
“Bedebah! Sudah kubilang ini tugas kami!”
“Kau bukan pemiliknya!”
“Lalu siapa kau? Kau pemiliknya, haaa?! Berani-beraninya melarang
kami.” Rombongan itu rupanya mulai naik pitam.
“Aku berasal dari sujana. Tapi, aku sudah lama tinggal di sini.
Aku penjaga gunung ini. Dan pepohonan ini menjadi urusanku.”
“Kurang ajar! Minggir kau! Atau kami potong juga lehermu?!”
“Kau tak akan bisa memenggal kepalaku. Aku orang yang sakti
mandraguna. Tidak ada yang bisa mengalahkanku,” sahut lelaki tadi sambil
mencibir.
“Omong kosong!”
Sebelum sempat lelaki tadi menjawab, dua orang dari rombongan
sudah memegangi tubuhnya. Seorang lagi mulai menyalakan gergaji. Rupanya,
rombongan penebang kayu liar tadi benar-benar sudah kalap.
“Silakan,” ucap lelaki serba hitam itu dengan santainya.
Merasa diremehkan, si pemegang gergaji mendekatkan gergajinya ke
leher lelaki itu. Tanpa pikir panjang, dipenggalnya kepala lelaki tadi.
Ngenggg!!!
Srakkk!
Darah mengalir deras membasahi pakaian serba hitamnya. Tubuhnya
tergeletak di rerumputan dengan kepala terpisah. Orang-orang dalam rombongan
tertawa penuh kemenangan. Akhirnya, aksi mereka nanti bisa aman tanpa ada yang
tahu.
“Katanya orang sakti. Nyatanya mati juga. Gunung ini luas. Ayo,
kita cari tempat lain saja!” perintah pemimpin rombongan.
Gelak tawa mengiringi kepergian rombongan tadi. Mereka berjalan ke
atas gunung. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba terdengar hardikan dari
depan mereka.
“Masih berani ke atas gunung?” tanya suara tadi.
“Ka...ka...kamu..., kamu...?”
Serentak mereka menoleh ke belakang. Jasad lelaki tadi sudah tidak
ada. Bahkan rumput masih tampak hijau. Tidak ada bekas darah sedikit pun.
Seketika bulu kuduk mereka berdiri.
JOG, En-191114
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment