Ini tentang
secangkir kopi yang tak sengaja kububuhi sesendok keraguan. Sedikit memang,
tapi sendok yang kuputar di tengah lamunan, mampu mencampurnya sedemikian rupa,
hingga membuat pagiku terasa lebih hambar.
Pagi
ini---seperti biasa---kusedu kopi kesukaanku. Hujan semalam masih terasa di
ujung jemari. Gigil tiada malu-malu menyusup di antaranya. Jadi, sengaja kuhadirkan
kopi hangat untuk menemaniku.
Kusiapkan
cangkir kosong kesayanganku, sesendok kopi, dua sendok gula, dan sesendok…, ah,
tidak! Aku tidak menambahkannya apa-apa lagi. Kecuali, terakhir kutuangkan air
panas, lalu kuaduk dengan sendok mungilku. Kudiamkannya sementara, pikirku
supaya tidak terlalu panas. Kutarik kursi, duduk manis, lalu sejenak terbawa dalam
lamunan tentangmu sebelum akhirnya aku tersadar kembali.
Kuseruput kopi
pagiku. Satu seruputan pertama, hambar. Apa yang salah? Mungkin perasaanku
saja. Kuseruput lagi, hambar lagi. Ah, aku harus memastikannya lagi. Ini
seruputan ketiga, lagi-lagi hambar. Kuingat-ingat lagi, takarannya tadi masih
sama seperti biasanya. Lalu, apa yang salah? Apa sesendok yang entah tadi?
Tidak! Aku tadi sama sekali tak menambahkan apa pun lagi. Lalu?
Pagi-pagi,
ampas kopi sudah berisik. Berbisik-bisik tepat di daun telinga. Membicarakan
tentang rasa yang saling berbaur. Campur-aduk, tumpang-tindih dalam irama
ketakutan. Menjelma dalam sebentuk keraguan. Debar-debar menjadi hambar. Ingar-bingar
tak lagi terdengar. Pendar rasa hampir ambyar. “Aku sebentar lagi terkapar,” katanya
nanar.
Kutemukan pesanmu
pada seruputan terakhir. Ada rindu yang terhalang ragu. Ada senyum malu-malu diadang
pilu. Ada aku, kamu, dan ampas kopi yang masih tersisa di gigilnya pagi.
No comments:
Post a Comment