Penulis: Endar Wahyuni
“Nduk, makan!” panggil Mak dari dalam rumah.
Aku yang masih asyik bermain masak-masakan di halaman pun
mengacuhkan panggilan Mak. Bahkan, perutku yang sudah mulai ikut memanggil juga
kuabaikan. Maklum, aku baru saja dibelikan satu set peralatan masak-masakan
oleh Bapak. Jelas saja aku enggan meninggalkan mainan baruku ini.
“Nduk, mainnya nanti lagi, dong. Ayo, makan dulu! Sudah Mak
buatkan telur mata sapi, tuh!” rayu Mak.
“Bentar, Mak....”
“Nanti perutnya sakit, lho. Apa mainannya Mak sita aja?”
Akhirnya aku nurut. Kutinggalkan mainanku dan bergegas menghampiri
Mak di ruang makan. Kudapati Mak telah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan
telur mata sapi dan bakmi goreng kesukaanku.
“Makan sendiri apa disuapin?” tanya Mak.
“Makan sendiri, dong, Mak,” jawabku sambil nyengir.
“Anak pintar. Nanti dihabiskan, ya!” Mak berlalu ke dapur lagi.
Sedikit demi sedikit mulai kulahap makanan di hadapanku. Pilihan
utamaku adalah bakmi goreng. Setelah bakmi goreng habis, aku beralih menyentuh
nasiku. Satu suap nasi berhasil bersarang di mulutku bersama secuil kuning
telur. Lalu berlanjut pada suapan-suapan berikutnya.
Tiba-tiba, tanpa kusadari kuning telurku sudah habis begitu saja.
Ahhh..., aku paling malas makan putih telur. Nggak enak, nggak punya rasa
menurutku.
“Mak...!”
“Ada apa, Nduk?” jawab Mak dari dapur.
“Udah....”
Kulihat Mak berjalan mendekatiku.
“Loh, kenapa nggak dihabiskan?” tanya Mak.
“Nggak suka putih telurnya,” jawabku pasang muka manja.
“Eh, ya, nggak boleh gitu, dong. Harus dihabiskan. Katanya anak
pinter?”
“Nggak mau, Mak. Aku udah kenyang,” rengekku.
“Tadi Mak ambilin nasinya cuma dikit, lho. Masa’ udah kenyang?
Kapan besarnya kalau makan saja nggak habis. Atau, Mak ambilin bakmi gorengnya
lagi?”
“Nggak mau, Mak. Pokoknya nggak mau!”
“Jangan gitu, dong, Nduk. Nanti kalau nggak dihabiskan, ayamnya
mati, lho!” ancam Mak.
Aku cemberut mendengar kata-kata Mak. Aku baru saja diberi satu
ekor ayam oleh nenekku. Kalau mati, aku nggak punya ayam lagi, dong. Akhirnya,
kulahap kembali nasiku dengan malas-malasan. Kulihat Mak duduk menemaniku
sambil senyum penuh kemenangan.
“Padahal kalau makannya nggak dihabiskan pun ayamnya nggak bakalan
mati. Malah hidup, dong, Mak. Soalnya, kan, nasi yang nggak kuhabiskan itu bisa
dikasih ke ayam. Kenyang, deh, itu ayam!” ucapku sore ini pada Mak setelah
mengingat dan menceritakan ulang peristiwa belasan tahun yang lalu. Mak hanya
terkekeh mendengar protesku kali ini.
“Dulu, kalau nggak Mak gituin, nggak bakalan kamu habiskan makananmu.”
Mak mencibir seraya menyeruput teh hangatnya.
JOG,
En-181114
Lihat juga FTS lainnya di sini
No comments:
Post a Comment