Ponselku berdering keras saat aku
berhenti di pom bensin. Kuselesaikan pembayaranku dengan petugas pom.
Setelahnya, baru aku keluar dari antrian panjang dan menepi ke tempat
peristirahatan sementara.
“Halo, satu jam lagi. Ini baru OTW
pulang!” Kuputuskan telepon balik Mas Bayu.
Seharian ponselku berdering terus.
Parahnya, hanya tertera dua nama, Mas Bayu, dan Pak Dukuh. Ya, malam nanti
memang akan diadakan syawalan kecil-kecilan di kampungku. Pak Dukuh pernah
mengatakan hanya pengajian kecil saja. Mendengar itu, kuputuskan tidak ikut
mengurusnya. Jarak kantor yang lumayan jauh, juga pekerjaan yang semakin padat
membuatku harus mengurangi kegiatan pemuda. Apalagi aku belum libur sejak hari
lebaran, membuatku repot kalau harus mengurus berbagai acara.
Selesai menelepon balik Mas Bayu, aku
langsung meluncur. Aku harus buru-buru sampai rumah karena Pak Dukuh memintaku
segera pulang. Persiapan yang kupikir sudah beres ternyata masih berantakan.
Sampai di rumah, kusempatkan salat
sebentar. Rencananya langsung ke rumah Mas Bayu. Eee..., rupanya baju yang
kukenakan sudah lumayan nggak enak. Maklum, kupakai sejak jam lima subuh tadi.
Buru-buru kuganti dengan kaos pendek. Kuraih sweter putihku, kukenakan lengkap
dengan jilbab oblongku. Langsung tancap gas menuju rumah Mas Bayu tanpa
memperhatikan ulang penampilanku.
Di rumah Mas Bayu, berbagai kesibukan
sudah menunggu. Mengambil pesanan snack, masak, membersihkan tempat
pengajian, cek sound system, dan lainnya.
“Busyeeettt..., yang lain mana, Mas?”
seruku.
“Ada yang reunian, lainnya sudah masuk
kerja,” jawab Mas Bayu.
“Helooowww?! Aku juga kerja, belum libur
malah, masih aja digerecokin. Kan, sudah kubilang, aku nggak bisa ngurus
kegiatan ini,” ucapku kesal.
“Hehehe..., siapa lagi kalau bukan kamu.”
Mas Bayu meringis.
“Urusan masak minta tolong saja sama Bu
Asih. Kan, cuma buat pembicaranya. Masaknya sedikit aja,” sambung Mas Bayu.
Buru-buru kuraih ponselku.
“Halo, Bu Asih. Bisa bantu masak buat
pembicara nanti malam? Oh..., ya..., ya..., baik, Bu. Makasih, Bu.” Kututup
teleponku.
“Beres, kan?” Mas Bayu tersenyum simpul.
“Beres apanya? Beliau bisanya bantu masak
nasi sama sayur. Nanti lauk-pauknya kita beli....”
“Oke, capcuuusss...!”
Beberapa puluh tusuk sate sudah berhasil
didapat. Mie goreng sudah selesai dipesan lengkap dengan perjanjian diambil jam
delapan malam. Tinggal satu yang belum didapat, tempe dan tahu bacem. Akhirnya
kami putuskan ke sebuah angkringan.
“Mas, tahu sama tempe bacemnya ada?” Mas
Bayu mendahului bertanya.
“Waduh... nggak ada, Mas....”
“Di mana kira-kira yang ada, ya?”
“Jarang yang jual baceman, Mas. Buat apa,
to? Mbok gorengan biasa aja!”
“Mintanya yang bacem, Mas,” sahut Mas
Bayu lesu. Kulihat pedagang angkringan itu menatapku.
“Ya, sudah, Mas. Makasih,” pamit Mas
Bayu.
“Ya, Mas. Eh... buat istrinya yang
nyidam, ya, Mas?”
“Iya, Mas,” sahut Mas Bayu sambil
buru-buru mengajakku cari ke tempat lain.
“Heh! Kok dibenerin aja, sih, kata-kata
mas angkringan yang tadi?” tanyaku kesal.
“Soal nyidam? Salah sendiri pake kaos
oblong kegedean tambah sweter warna terang. Udah tahu kelebihan berat badan,
masih aja pakai baju kayak ibu-ibu hamil,” seloroh sepupuku itu sambil
menertawakanku. Aku memperhatikan pakaianku sendiri. Iya, ya, seperti orang
hamil, batinku. Aku terkekeh sendiri walau sebenarnya masih kesal.
JOG,
En-211014
Lihat juga kumpulan FTS lainnya di sini
No comments:
Post a Comment