Terlambat.
Harusnya tak pernah ada kata itu. Harusnya kita sama-sama berada di gubuk.
Sebelum pakaian-pakaian kita basah. Kuyup tetesan hujan yang bertubi.
Seperti
biasa, sore itu mendung menggelantung. Di utara langit pekat menghitam. Sedang
kita? Kita sama-sama sedang mencari kayu bakar untuk perapian nanti malam.
Lantas,
saking asyiknya, sepertinya kita lupa pada kain hitam berukir kuning keemasan
yang kita tanggalkan. Kita tinggalkan berbaris rapi di samping gubuk. Kain yang
bakal kita kenakan nanti, saat semua orang memandang iri pada kita.
Kilat mulai
mencuat, petir menggetirkan. Keduanya datang silih berganti mengingatkan. Tapi,
entah apa yang terjadi. Kita abaikan begitu saja. Atau, kita memang benar-benar
lupa? Seburuk itukah ingatan kita, hingga lupa pada baju yang akan kita
kenangkan?
Langit
benar-benar menangis. Buncah bersama senja yang luput menjingga. Dan kita masih
asyik di kebun menjumputi kayu bakar.
Hingga kita
merasa benar-benar kedinginan. Kain yang kita kenakan menempel lembab di tubuh.
Baru kita sadari, hujan telah datang, mengguyur ladang, kebun, dan halaman.
Oh... halaman? Itu artinya halaman gubuk kita pun demikian. Tidak...!!!
Aku tergopoh,
berlari meninggalkanmu yang masih asyik berteduh di bawah pelepah daun pisang.
Terengah-engah, tiba aku di pelataran. Nanar pandangku pada selarik jemuran.
Beberapa pasang kain yang berjajar rapi, semuanya sudah basah tak
terselamatkan. Bulir bening mengalir bersama hujan yang semakin deras,
menyesali kebodohanku, atau mungkin ketidakpedulian kita.
Dalam kecewa
yang tak lagi terkira, kupungut satu demi satu lembarannya, hati-hati. Hitamnya
semakin pekat, namun layu dipeluk hujan. Kuyup dalam penantian pedulinya si empunya,
namun nihil.
Di dalam
gubug, kutanggalkan lagi satu per satu bersama keyakinan, nanti pasti kering
juga. Setelahnya, kurebus air dan menunggu kau kembali. Kusiapkan seduan teh
hangat kesukaanmu, supaya sedikit menolongmu dari gigil yang semakin merasuk.
Tunggu kutunggu, namun kau tak juga muncul di depan pintu. Sampai tanganku
sudah pegal mengipasi kain kita sedari tadi, namun kau tak kunjung kembali.
Hampir
tengah malam, teh petang tadi sudah dingin. Tangan sudah kesemutan. Baju sudah
sedikit mengering. Namun, kau? Di mana kau?
Krekk!!!
Pintu gubug
sedikit terbuka. Kepalamu menyembul dari baliknya. Tergopoh langkahmu
menghampiri pakaian kita.
“Sudah
hampir mengering, tidak apa-apa,” katamu dengan senyum lebar.
“Sudah apek,
aku sudah malas mengeringkannya sendirian. Tanganku pun sudah tak sanggup
lagi,” ucapku seraya membuang teh hangat yang tak lagi mengepul.
JOG,
En-141214
No comments:
Post a Comment