Penulis: Endar Wahyuni
Senja berlalu, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Aku sudah siap dengan seragam hitam-putihku. Kakiku melangkah menuju salah satu
kereta. Ya, hari ini adalah hari ketiga PKL-ku menjadi pramugara kereta. Kalau
bukan demi melengkapi nilai praktikku, sebenarnya aku sangat malas. Bagaimana
tidak? Bahasanya saja pramugara. Tapi, kerjaannya seperti pedagang asongan.
Menawarkan segala macam makanan dan minuman di dalam kereta. Kalau malam, ditambah
menawarkan bantal. Aghh... menyebalkan.
Kali ini, aku sudah berada dalam salah satu gerbong. Di atas
tangan kiriku terdapat sebuah baki lengkap dengan teh hangat. Kereta berjalan
setengah jam yang lalu. Kini, saatnya aku beraksi.
“Teh hangatnya, Pak, Bu, silakan!” tawarku.
Semua terdiam. Tak ada yang menjawab.
“Yang kedinginan, yang haus, mari teh hangatnya!” teriakku
lagi.
Nihil. Semua tetap bergeming. Kuperhatikan mereka saksama.
Belum ada yang tertidur. Tapi, wajah mereka kelihatan pucat. Bibir tampak biru,
dan...
“Mbak, mau teh hangat?” tanyaku pada seorang gadis di
sampingku.
Tangan kananku sedikit menyentuh tangannya yang memang menggunakan
kaus lengan pendek.
Deg!
Aku terperanjat. Gadis itu terasa begitu dingin. Seperti...,
seperti mayat.
“Tidaakkk...!!!” teriakku spontan.
Seluruh isi gerbong memandangku dengan tatapan kuyu.
Tiba-tiba, darah keluar dari bola mata mereka. Aku benar-benar dilanda
ketakutan. Ingin rasanya aku lari, tapi kakiku terasa kaku.
“Hei...!!! Apa yang kau lakukan di dalam sana!” teriak
seorang perempuan berseraga. Entah seragam apa, aku tidak begitu melihat dengan
jelas. Cahaya yang menerangi tempat ini hanya sedikit, hanya berasal dari
sorotan lampu ruang tunggu stasiun. Tapi, aku yakin dia juga bekerja di sini.
Aku tiba-tiba merasa aneh. Kereta api yang kutumpangi dalam
keadaan diam. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Bahkan, kondisinya teramat
memprihatinkan. Aku bergidik, bingung apa yang telah terjadi. Buru-buru
kulangkahkan kakiku keluar.
“Kau anak PKL, kan? Kereta ke Jakarta sudah akan berangkat.
Kenapa malah asyik-asyikan bermain di kereta tua yang sudah tak terpakai lagi?”
hardiknya setibanya aku di luar.
“Eh..., iya, maaf,” jawabku menunduk sambil mengingat-ingat apa
yang telah terjadi.
Aku yakin benar, tadi kereta yang kumasuki awalnya biasa saja
seperti kereta pada umumnya.
“Bolehkah kutahu, kereta yang akan kutumpangi sekarang yang
mana?” tanyaku karena takut salah lagi.
“Ikut aku!” Perempuan itu membalikkan tubuhnya.
Mataku tiba-tiba tertuju pada punggungnya. Terlihat luka
besar menganga dan menjijikan.
“Aaa...!!!” aku berusaha menjerit sekerasnya.
Perempuan itu membalikkan badannya lagi kearahku. Wajahnya
kini tampak hancur. Banyak luka dan darah mengering. Aku serasa ingin pingsan
kali ini. Dari belakang, kudengar kereta tua tadi berjalan kearahku. Kutoleh,
tak ada masinisnya. Aku ingin menghindar. Namun, lagi-lagi kakiku terasa berat.
Dan...
‘PET!’
“Aargghhh...!”
“Kenapa, Dil?” tanya ibuku.
“Laptopnya nggak tahu kenapa tiba-tiba mati, Bu. Padahal lagi
buat tugas dari Bu Guru. Disuruh nulis cerita horror tentang kereta. Belum
disimpan dan harus dikumpulin besok!” keluhku dengan muka masam.
JOG,
En-171214
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment