“Sayang lagi apa?” Rani terdengar manja
dari ujung telepon.
“Kenapa? Kangen, ya?” goda Arul.
“Idih..., ditanyain malah gitu. Kamu,
tuh, ya..., nyebelin tauukkk!” Rani pasang muka manyun, meskipun semanyun apa
pun Arul juga nggak lihat.
“Hehehe....”
“Tuh, kan, tuh, mulai lagi nyebelinnya.”
“Iya, deh, maaf. Hari-hari terakhir ini
lagi sibuk deketin penerbit, nih....”
“Hadehhh..., gini, nih, susahnya pacaran
sama penulis. Kalo nggak ditinggal nulis, ya, ditinggal pedekate. Atau, apalah
tetek-bengek lainnya.”
“Yee..., siapa suruh mau sama penulis!”
Arul terkekeh dari seberang.
“Ohh..., gitu? Oke---“
“Jiahhh..., gitu aja ngambek. Beneran,
Sayang, kali ini penerbitnya penting banget. Jadi, yang sabar, ya!” pinta Arul
memotong kalimat Rani yang sudah terdengar nada ancamannya.
“Hemmm,” jawab Rani singkat, padat, dan
cukup jelas bagi Arul bahwa si dongkol sudah muncul di diri kekasihnya.
“Bukan penerbitnya langsung, sih...,
perantara dan apa, ya? Pokoknya dia kunci utama, deh. Yakin, buku ini aku
persembahkan khusus buat kamu. Tentang kita gitu....”
“Sejak kapan nulis buku buat aku?” tanya
Rani sedikit ketus.
Ya..., selama pacaran memang Arul tidak
pernah menulis apa pun tentang Rani. Apalagi yang dipublikasikan. Tidak sama
sekali. Bukan apa-apa, karena bagi Arul memang nggak harus diumbar-umbar. Dan
selama ini, Rani pun tak mempermasalahkan hal itu. Apalagi, notabennya Rani
bukan pecinta buku yang fanatik. Suka baca, cuma yang benar-benar bagus menurutnya
saja.
“Sejak disetujuinya ide untuk buku yang
satu ini. Makanya, jangan marah-marah terus. Bantu doa!”
“Hayooo..., jangan-jangan yang dideketin
cewek dan ada maunya lagi,” selidik Rani.
“Disuruh bantu doa malah cemburunya
kumat. Dia laki-laki, kok. Kalo aku sebutin namanya pasti kamu kenal juga.”
“Jawab aja nggak usah pake
tebak-tebakan. Siapa orangnya dan mau nerbitin buku tentang apa. Seingatku, aku
nggak punya kenalan penerbit atau apa pun yang berhubungan dengan tulisan.” Rani
mulai nggak sabar dengan Arul yang terlihat main petak umpet soal nama.
“Hahaha! Buku apa, ya? Buku yang ada
nama, tanda tangan, sama foto kita berdua. Hehehe....” Arul terkekeh dari balik
telepon.
“Aiihhh..., bercanda mulu,” tukas Rani
dengan sedikit senyum ngarep juga.
“Cie..., yang ikut senyum malu-malu,
cieee,” goda Arul.
“Sok tahu!” sanggah Rani.
“Serius ini, Sayang. Minggu depan aku ke
rumah, ya. Semalem udah telepon juga sama Pak Adam. Orang yang aku bilang
sebagai kunci pertama terbitnya buku ini,” ucap Arul serius.
Rani senyum-senyum sendiri di kamarnya
mendengar satu nama yang sudah teramat dia kenal dari lahir. Pak Adam, ayahnya.
No comments:
Post a Comment