Kalau kau (juga) ingin pergi, pergilah!
Karena sejak semuanya pergi, aku bahkan tak ingin percaya
siapa pun lagi. Sejak semuanya meninggalkanku, sejak semuanya entah ke mana,
aku merasa tak butuh lagi ditemani. Bukan karena aku mampu sendiri. Bukan!
Tapi, sejak semuanya hilang, aku merasa aku memang tak pantas ditemani. Maka,
jika kau (juga) ingin pergi, pergilah!
Iya, aku memang tak pantas untuk berteman dengan siapapun. Apalagi
ditemani siapapun. Aku cukup mengerti siapa aku. Aku cukup mengerti kelebihanku
yang tak lain adalah kekurangan yang berlebih. Yang tak membuat siapapun merasa
nyaman. Mana mungkin kau betah menemaniku. Aku tahu itu. Dan aku cukup mengerti
diriku. Aku paham.
Tak usah kau protes pula aku yang tak acuh ini. Tidak perlu.
Karena untuk hal ini pun aku cukup tahu. Bahkan, kamu entah orang keberapa yang
mengatakan ini. Cukup! Tak usah kau membahas masalah ini lagi. Aku mengerti
tidak ada orang yang ingin diabaikan. Dan aku paham, kau termasuk di antaranya,
begitupun aku.
Tak perlu kau takut-takuti aku, bahwa ketidak-acuhan ini
bisa membuat yang dekat menjadi jauh. Aku sudah tahu itu. Dan aku cukup
mengerti rasanya tidak dipedulikan. Serta cukup paham rasanya menjadi yang
ditinggalkan. Hanya karena ketidak-acuhan, yang aku akui itu memang menjadi
sakral. Hanya saja, terkadang pasti ada suatu hal yang menyebabkan ‘udang di
balik batu’ ini.
Jangan kau tanya mengapa dan bagaimana. Karena aku sendiri
pun tak tahu. Aku tak cukup mengerti apa aku memang bukan orang yang acuh. Atau
acuhku yang ‘sengaja’ kusembunyikan di balik kata ‘tak’. Aku tak cukup paham
akan hal ini.
Kalau kau (juga) ingin pergi, pergilah!
Tak perlu kau bahas tentang karma. Tentang hukum rimba makan
dan dimakan. Tentang benih yang ditabur dan hasil yang dipanen. Aku sudah tidak
peduli. Sejak semua pergi, dan mungkin kau pun akan menyusul pergi, aku sudah
tak peduli dengan diriku sendiri. Toh, siapa aku? Sudah kubilang dari awal. Aku
bukan siapa-siapa. Siapa yang akan menemaniku. Sudah kutegaskan pada diriku
sendiri, aku memang tak pantas punya teman, apalagi ditemani.
Aku sudah jatuh di jurang yang (kurasa) cukup dalam. Buat
apa kau masih mencoba memberitahuku rasanya jatuh. Sakit, kan? Aku sudah tahu. Aku
mengerti perihnya. Dan aku paham pedihnya yang teramat menyiksa.
Jadi, pergilah!
Aku tak akan menghalangimu pergi. Dan aku tak akan pernah
menyalahkanmu pernah mengunjungiku. Karena sejatinya, akulah di sini yang ‘selalu’
salah. Aku yang tak mampu menjaga pintu yang sedianya telah lama kututup
rapat-rapat.
Pergilah!
Tinggalkan aku dalam rasa hambar yang kian berhambur ini.
Kalau pun tak akan pernah kucecap itu manis. Bolehlah kiranya tak kusesap pahit
ini. Kalau pun memang aku tak pernah ditakdirkan untuk tertawa, aku harap tak ada (lagi) air mata.
No comments:
Post a Comment