Malam ini sengaja kutunggu Mas Pram di beranda rumah sembari menyedu teh hangat. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Mas Pram belum kelihatan juga. Satu jam yang lalu dia meneleponku, katanya baru dalam perjalanan. Mungkin macet, pikirku.
Untuk menghilangkan kejenuhan, kuambil
novel yang baru saja kubeli tadi siang. Sedikit demi sedikit mulai kulahap halaman per
halamannya. Lampu beranda rumah memang sedikit redup. Namun, aku masih bisa
membaca novelku dengan jelas.
“Kok nunggu di sini, Sayang?”
Tiba-tiba Mas Pram sudah berdiri di hadapanku.
“Lah, motornya mana, Mas?” tanyaku
tanpa menghiraukan pertanyaannya.
“Bocor pas di depan rumah Pak Dul. Nggak
ada bengkel yang buka. Bengkelnya si Ali pun sudah tutup. Aku titipin dulu di
rumah Pak Dul. Besok pagi baru dorong ke bengkelnya Ali,” jelas Mas Pram
panjang lebar.
“Masuk, yuk. Udara di luar dingin.
Nggak baik,” ajak Mas Pram.
Aku mengangguk pelan. Kututup novelku,
sebelumnya kulipat sebagian kecil halamannya untuk memberi tanda.
“Kan, udah dibilang, kalau baca buku
di tempat yang cahayanya bagus. Jangan ngeyel!” Mas Pram melirik novelku.
Ah, lagi-lagi aku harus mendengar
omelan Mas Pram tentang hal-hal kecil seperti ini. Bosan? Nggak juga, sih. Karena,
suatu saat pasti akan sangat kurindukan hal-hal seperti ini. Kupeluk tangan
kanan Mas Pram. Kami berdua beriringan masuk ke rumah.
“Aku punya sesuatu buat kamu,” ucap
Mas Pram ketika kami sudah masuk ke kamar.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Taraaa....!” Mas Pram mengeluarkan satu
kartu ATM dari dalam dompetnya.
“Ini kartu ATM buat kamu. Sengaja Mas
buatkan supaya kamu lebih gampang ambil uangnya dan lebih aman juga,” terang
Mas Pram.
“Dasar lelaki pengkhianat!” teriakku
sambil menangis hebat.
Mas Pram hanya melongo. Sepertinya
dia bingung apa yang terjadi padaku. Kuambil dompet di tangannya. Kubuka lebar-lebar.
Kuperlihatkan jelas di depan matanya. Terpampang satu foto perempuan yang aku
tahu itu bukan aku. Hatiku panas, dadaku bergemuruh tak karuan. Aku benar-benar
kalut. Aku menangis sejadi-jadinya. Mas Pram berusaha memelukku, tapi dengan
sekejap kutepis. Dia lantas terdiam duduk di sampingku, membiarkanku puas
dengan tangisanku.
“Apa salahku, Mas? Hingga kamu tega
ngelakuin ini?” tanyaku dengan emosi meledak-ledak.
“Salahmu..., kamu nggak tanya dulu
siapa dia,” jawab Mas Pram tenang.
Aku memandang tajam ke arahnya. Tangisku
kembali buncah bersama amarah yang semakin meradang. Kulihat Mas Pram malah
tersenyum lembut seolah ingin menenangkanku seperti hari-hari sebelumnya ketika
terjadi keributan. Ini bukan perkara kecil lagi. Apa Mas Pram pikir dia akan
mampu meluluhkanku dengan jurus andalan sehari-harinya. Aku semakin kalap.
“Kalau sudah cemburunya, aku
jelaskan. Dia teman kuliah dulu, yang mau aku kenalkan ke sepupu kamu. Kan,
kamu sendiri yang bilang mau nyariin jodoh buat sepupumu,” papar Mas Pram.
Sontak aku langsung menatapnya. Menatap
wajah tenang yang selalu sabar mendampingiku satu tahun belakangan ini, walau
kami belum juga dikaruniai momongan. Tangisku kembali buncah. Namun, kali ini
tumpah ruah dalam dekapannya.
“Maafkan aku, ya, Mas!” pintaku
seraya mengeratkan pelukanku.
JOG, En-201114
No comments:
Post a Comment