Penulis: Endar Wahyuni
Kangen senja ^_^
Ini senja terakhir kita, please
datang :’)
Kubuka lagi
pesan dari Bima satu jam yang lalu. Lantas kulirik jam tanganku. Waktu sudah
menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun, Bima tak kunjung datang jua.
Angin pantai
berembus kencang. Sore sebentar lagi berganti senja. Kunikmati debur ombak yang
tak hentinya mencumbu pasir pesisir. Matahari mulai merangkak turun, membuat
sore semakin teduh. Kuhirup aroma angin pantai. Aroma yang menjadi begitu
kental beberapa musim terakhir. Entah sejak kapan aku menyukainya. Mungkin hanya
karena terbiasa saja. Karena, sejatinya aku bukan pecinta senja. Aku lebih suka
menikmati pantai di pagi hari, saat matahari mengenalkan diri.
“Hei..., sudah
lama, ya?” Bima tiba-tiba mengejutkanku.
“Kebiasaan,
sih, molor. Senjanya hampir habis, tuh!” protesku.
Lelaki itu lantas
duduk di sampingku. Dia menatapku sejenak, lalu pandangannya beralih ke bibir
laut. Kami saling terdiam, menikmati pikiran masing-masing.
“Nggak
nyangka, ya, waktu berjalan cepet banget,” ucapnya memecah keheningan.
“Iya, nggak
nyangka juga sebentar lagi kamu udah nikah. Cie..., cie..., senengnya,” godaku.
“Hahaha..., berkat
kamu juga, kan? Buru-buru nyusul, gih!” Gantian Bima yang menggodaku.
Aku hanya bisa
nyengir mendengar selorohnya.
“Hemmm...,
terima kasih, ya, Mey. Aku akui, kamu super duper segalanya, deh,” lanjutnya.
“Biasa aja
kali, Bim!”
“Eh, serius
ini. Dari awal hubunganku dengannya, kamu selalu support. Bersedia 24 jam
kuganggu cuma gara-gara datang virus galau. Sampai---“
“Sampai bukan
cewekmu yang meminta segera dinikahi. Tapi, aku yang memaksamu segera melamarnya,”
ledekku memotong pembicaraan Bima.
“Hahaha...,
iya, iya. Jadi, bener, kan? Kamu memang hebat. Bisa meyakinkan aku untuk lebih
serius lagi.” Bima terkekeh.
“Apa, sih,
yang nggak buat kamu? Intinya, aku seneng lihat kamu bahagia. Aku yakin dia adalah pilihan yang tepat. Wanita hebat yang akan berada di sampingmu selamanya.”
“Idiihhh,
kenapa jadi sendu gitu ngomongnya?” ledek Bima.
“Hadeh,
ngerusak suasana aja kamu, Bim. Orang lagi belajar ngomong romantis gini.” Aku
pasang muka cemberut.
“Jelek banget
mukanya. Jomblo terus kapok!” goda Bima. “Tapi, makasih, ya, gara-gara kamu,
aku nggak jadi sama cewek nggak bener itu.”
“Nggak usah
sebut dia lagi. Yang penting sekarang kamu sudah sama orang yang lebih baik,” ujarku.
“Hehehe...,
untung, ya, kamu mengingatkan aku supaya nggak terjebak permainannya. Sudahlah,
bener katamu. Sekarang yang penting aku sudah menemukan orang yang tepat,” balas
Bima.
“Dan sebentar
lagi menikah.” Kulirik Bima seraya tersenyum.
Kami berdua
lantas tertawa bersama sambil menikmati senja yang hampir habis. Layaknya senjaku
bersama Bima yang sebentar lagi berakhir juga. Hari-hari selanjutnya, tak ‘kan
ada lagi tawa kami mengalahkan debur ombak yang airnya ikut berwarna keemasan. Tak
‘kan ada lagi cerita-cerita mengalir ikut mewarnai siluet merah jingganya
cakrawala. Dan mungkin aku akan kembali pada gigilnya pantai pagi hari,
sendirian.
“Mey, sekali
lagi makasih buat semuanya, ya. Buat dukungan kamu selama ini. Buat kebaikan
dan kesabaran kamu. Termasuk buat tawa-tawa kita.” Bima terdiam sejenak.
“Dan aku...,
aku minta maaf. Atas apa pun yang pernah terjadi di antara kita. Aku minta maaf
pernah menyakitimu. Pernah membuatmu masuk ke dalam suasana yang tidak
mengenakkan,” lanjut Bima.
“Sudahlah,
Bim. Toh, itu sudah masa lalu. Semoga kita sama-sama bisa mengambil hikmah dari
setiap masalah yang ada. Nggak ada alasan buat kita nggak bahagia,” tegasku.
“Iya, intinya
aku minta maaf atas hubungan kita dulu. Dan..., makasih kamu tetap mau menjadi
sahabatku.”
“Sudah azan, pulang
aja, yuk! Sebentar lagi gelap,” ucapku mengakhiri perbincangan kami.
Bima
mengangguk. Kami lantas berjalan menuju tempat parkir dan mengambil motor
masing-masing.
“Duluan, ya!”
pamit Bima yang melihatku masih sibuk mengotak-atik ponselku.
Aku hanya
mengangguk pelan. Sengaja kusibukkan diriku dengan ponsel. Aku memang ingin
Bima pulang lebih dahulu.
Bima telah
meninggalkanku lima menit yang lalu. Kumatikan mesin motor yang tadi
pura-pura kupanasi. Aku kembali ke pantai. Mataku mulai berkaca-kaca.
“Kita berhak
bahagia,” ucapku lirih seraya melemparkan sebuah liontin berbentuk stroberi ke laut lepas.
Liontin yang di
bagian belakang terukir tulisan ‘B&M’ itu hilang ditelan ombak. Tangisku
buncah seketika. Liontin hadiah ulang tahunku dari Bima, senyum Bima, senja
milik Bima, dan hubungan kami yang harus berakhir karena perbedaan kepercayaan
seketika menguak kembali dalam ingatan. Mengusik hatiku yang semula sudah
kutata rapi. Berharap akan tak ‘kan terkoyak lagi. Namun, nyatanya aku tetaplah
seorang wanita yang rapuh oleh perasaanku sendiri.
JOG,
En-271114
No comments:
Post a Comment