Dia masih
asyik bermanja denganku ketika matahari mulai turun. Semilir angin berembus
mesra, membelai memanjakan kami yang tengah bermalas-malasan. Sebentar-sebentar
kuusap kepalanya. Lantas dia tampak begitu girang. Tak bosan-bosannya dia mengelayut
di tubuhku. Seperti tak bosan pula aku menggodanya, mencubit hidungnya. Ah…,
kami memang tak pernah bosan mengumbar kemesraan ini.
Entah sudah
berapa musim kulewati dengannya. Aku sangat menyayanginya. Bahkan aku sangat
takut kehilangannya. Walaupun hubungan kami sedikit bermasalah. Bukan. Bukan hubungan
kami yang bermasalah. Hanya saja…
Huuuft…, aku
selalu berharap orang di sekitarku bisa menerima kehadirannya. Betapa aku
menginginkannya untuk selalu di dekatku. Dia, pendengar yang baik saat aku
butuh teman bicara. Dia, teman yang lucu saat aku butuh tempat tertawa. Dia, bahkan dalam kodisi
aku kelelahan pun, dia serasa jadi obat penawar. Dia, entahlah.
Aku selalu merindukannya ketika kami lama tak berjumpa.
Sore ini, aku
sangat senang. Di rumah hanya ada kami berdua. Itu tandanya aku dapat bercanda
sepuasnya bersama dia. Tanpa takut ada yang melarangku. Atau marah-marah karena
tak suka kehadirannya. Kami bercanda, bermain-main di teras belakang. Aku terus
menggodanya. Dan dia, seperti yang sudah-sudah, selalu manja. Hingga lama-lama
dia akan tertidur di pangkuanku.
Kami tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini. Andai aku boleh meminta, aku ingin kami bisa
selalu bermesraan seperti ini setiap waktu. Tapi, rasanya mustahil. Aku tidak
merasa ada yang salah jika kami bersama. Hanya saja, aku tak pernah mengerti
mengapa orang terdekatku sendiri yang melarangku dekat dengannya. Apa salahnya?
Kalau aku tanya seperti itu, pasti akan dibeberkannya satu per satu
kekurangan dia. Inilah…, itulah…, aku capai mendengarnya.
“Rupanya di
sini, sampai nggak denger ada salam.” Aku tersentak ketika di hadapanku berdiri
seorag lelaki yang amat kukenal.
Aku menelan
ludah. Aku tahu waktuku bermesraan sudah habis. Dan lebih parahnya lagi, aku
kepergok lelaki di depanku. Deg!
“Eh…, iya,
maaf,’’ jawabku pelan, takut kena marah.
“Kamu itu…,
sudah dibilangin tetep aja ngeyel, ya. Jangan mainan kucing!”
Aku menunduk, diam membisu. Kubangunkan kucingku yang rupanya telah pulas di pangkuanku. Lelakiku
memandangku tajam.
Iya, dia
memang tidak suka aku bermain-main dengan kucing. Alasan utamanya adalah tidak
baik untuk kesehatanku. Disambung alasan-alasan lainnya yang selalu kudengar
setiap hari. Masih beruntung aku boleh memeliharanya. Dengan syarat, tidak
boleh bermain-main dengannya, apalagi menyentuhnya. Aiiih…, ini terlalu
menyiksaku.
JOG, En-071114
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment