Penulis: Endar Wahyuni
Taman rumah
sakit sore ini tampak sedikit lengang. Kupilih satu kursi panjang di bawah
pohon cemara. Di sekitarnya, hamparan bunga memberi sedikit warna pada nuansa putih
tembok rumah sakit. Kusandarkan badanku, menatap kosong hingga terbawa dalam
lamunan.
“Mey?”
Suara Aga
mengagetkanku. Kutatap dia sejenak, lalu kutundukkan kepalaku. Dalam sekejap
dia sudah duduk di sampingku. Diulurkannya sebotol air mineral kepadaku.
“Makasih....”
“Aku yang
harusnya makasih sama kamu. Makasih, ya, sudah mau jenguk Mama.” Aga menatapku
yang kembali menunduk.
“Maaf, ya,
hari ini aku harus merepotkan kamu. Mama merengek pengin ketemu kamu,”
lanjutnya.
“Nggak
apa-apa. Mama kamu tadi cerita, katanya kamu diterima kerja di Jakarta, ya?”
tanyaku mencari topik pembicaraan lain.
“Iya, masih
minggu depan aku berangkatnya. Semoga Mama sudah baikan,” jawab Aga pelan.
“Aamiin....”
“Mey?”
“Ya...?”
Kulirik Aga, rupaya dia tengah menatapku.
“Gimana
kabar kamu?”
“Baik,”
jawabku singkat.
Kami berdua
lantas terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri sibuk menata
hati. Sibuk memikirkan bagaimana bersikap wajar di hadapan orang yang masih
sangat kucintai. Sibuk menyembunyikan mendung yang terus menggelayuti hatiku.
Dan Aga....
Entah apa
yang ada dalam pikirannya. Entah tentang mamanya. Atau tentang kerjaan barunya.
Atau..., ah, entahlah. Aku tidak mau menebak terlalu jauh. Yang ada hanya
membuat hatiku semakin pilu. Ini harus kuakhiri. Termasuk perasaan ini. Sudah bukan
waktu dan tempatnya lagi. Aku mendesah penuh kekecewaan.
“Ga, aku
pulang dulu, ya. Titip salam buat mamamu. Semoga lekas sembuh,” pamitku yang merasa
mulai tidak nyaman dengan situasi ini.
“Kok, buru-buru,
Mey? Ada acara, ya?”
Aku hanya
mengangguk. Walau sebenarnya, jika kuingat lagi, aku sama sekali tak punya
acara sore ini. Tapi, aku tak bisa berlama-lama di tempat ini. Apalagi bersama
Aga.
“Ya,
sudah..., hati-hati di jalan, Mey. Salam buat keluarga di rumah, ya!” ucap Aga
seraya memamerkan senyumnya. Senyum yang dulu selalu melumerkan kemarahanku.
“Oh, ya...,
titip salam juga, ya. Buat perempuanmu...,” ucapku sedikit ragu.
Angga
tersentak kaget. Ditatapnya aku lekat-lekat. Aku kelimpungan menyembunyikan air
mata yang hampir tumpah.
“Duluan, Ga,”
pamitku lagi dan segera berlalu.
Di sepanjang
jalan menuju parkiran pipiku basah. Rupanya bulir-bulir ini tak sanggup lagi
bersembunyi di balik pelupuk. Buncah, tumpah ruah dalam pasrah.
No comments:
Post a Comment