Langit
tiba-tiba sedikit menitikkan air matanya ketika aku sedang membedung anakku.
Untung saja hanya gerimis dan tidak ada petir, sehingga aku tidak perlu
khawatir.
“Eh, cucuku
sudah cantik.” Mertuaku tiba-tiba sudah berada di dekatku.
“Sudah,
Nek,” jawabku seolah-olah ingin mengajari putriku berbicara.
“Ya, sudah,
kamu makan dulu sana. Biar kugantikan jagain si kecil,” perintah mertuaku.
“Sama Nenek
dulu, ya, Nak. Jangan nakal,” pamitku.
Ibu mertuaku
segera mengambil alih si kecil dari gendonganku. Ditimang-timangnya sambil
sesekali berceloteh, seakan-akan sedang mengobrol. Lalu, dilantunkannya
beberapa tembang Jawa.
Buru-buru
kulangkahkan kakiku ke ruang makan. Mumpung si kecil sedang tidak rewel, aku
bisa menggunakan kesempatan ini untuk makan. Lagian, aku tidak merasa khawatir
jika sudah ada neneknya. Namun, baru beberapa suapan, kudengar si kecil
menangis. Ah, tak apalah, sudah biasa bayi sering menangis, pikirku.
Kuteruskan
suapanku. Namun, belum juga nasi di piringku habis, kudengar tangis si kecil
semakin mengeras. Kali ini aku khawatir. Jangan-jangan neneknya sedang ke kamar
mandi sebentar. Aku tergopoh berlari ke kamar.
“Kenapa,
Buk?” tanyaku ketika kudapati ternyata putriku masih dalam gendongan mertuaku.
“Nggak tahu,
nih, tiba-tiba nangis. Daritadi nggak mau tenang.”
“Apa mungkin
sudah ngompol?” tebakku.
“Tapi, ini
nggak basah,” terangnya. “Mungkin capai dibedung daritadi, atau dia lapar.”
Mertuaku
meletakkan si kecil di ranjang. Lantas, dengan hati-hati dibukanya bedung yang
membalut tubuh putriku.
“Coba
dikasih ASI, gih!” lanjutnya ketika si mungil belum juga berhenti menangis.
Kuraih si
kecil yang sudah bisa bergerak-gerak bebas karena bedungannya sudah dilepas.
Kutaruh dia dalam pangkuanku. Kuberi dia ASI. Tapi...
“Oeeek... oeeek...!”
tangis si kecil semakin membuncah.
Aku dan
mertuaku heran dibuatnya. Si kecil rupanya tak ingin ASI. Aku cek celananya
tidak basah, berarti dia tidak mengompol. Lalu, apa yang terjadi, aku bingung.
Kulihat
mertuaku keluar kamar. Lalu, beberapa saat kemudia dia masuk lagi.
“Nah, ini
dia yang menyebabkan cucuku nangis terus,” katanya seraya menunjukkan sebuah
selimut yang sedikit basah terkena gerimis.
Aku melongo
tak mengerti. Kuingat tadi pagi aku memang mencucinya. Tapi, sore tadi aku
tidak begitu memperhatikan bahwa ternyata selimut itu belum ikut kuangkat.
“Aku temukan
jatuh. Mungkin kamu nggak lihat tadi pas angkat jemurannya,” lanjut mertuaku.
“Sudah, ya,
Sayang. Ini selimutnya sudah Nenek bawa masuk. Nanti dijemur di dalam rumah
dulu, ya.” Mertuaku berbisik di telinga putriku.
“Bayi memang
suka begitu. Kalau sudah malam, tapi ada barangnya yang masih di luar, dia akan
menangis terus. Apalagi di luar mulai hujan,” terangnya.
Aku belum
sepenuhnya mengerti alasan logisnya. Tapi, aku jadi ingat. Ini adalah
kepercayaan orang dulu. Ibuku juga pernah mengatakannya. Aku sendiri antara
percaya dan tidak percaya. Namun, kulihat putriku kini sudah tenang, bahkan
hampir tertidur. Entahlah, ini hanya kebetulan atau memang benar.
JOG, En-301214
*) cerita seorang ibu muda di
kampungku
Lihat juga FTS lainnya di sini
No comments:
Post a Comment