Thursday, April 23, 2015

TANGIS SI KECIL

Penulis: Endar Wahyuni



Langit tiba-tiba sedikit menitikkan air matanya ketika aku sedang membedung anakku. Untung saja hanya gerimis dan tidak ada petir, sehingga aku tidak perlu khawatir.

“Eh, cucuku sudah cantik.” Mertuaku tiba-tiba sudah berada di dekatku.

“Sudah, Nek,” jawabku seolah-olah ingin mengajari putriku berbicara.

“Ya, sudah, kamu makan dulu sana. Biar kugantikan jagain si kecil,” perintah mertuaku.

“Sama Nenek dulu, ya, Nak. Jangan nakal,” pamitku.

Ibu mertuaku segera mengambil alih si kecil dari gendonganku. Ditimang-timangnya sambil sesekali berceloteh, seakan-akan sedang mengobrol. Lalu, dilantunkannya beberapa tembang Jawa.

Buru-buru kulangkahkan kakiku ke ruang makan. Mumpung si kecil sedang tidak rewel, aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk makan. Lagian, aku tidak merasa khawatir jika sudah ada neneknya. Namun, baru beberapa suapan, kudengar si kecil menangis. Ah, tak apalah, sudah biasa bayi sering menangis, pikirku.

Kuteruskan suapanku. Namun, belum juga nasi di piringku habis, kudengar tangis si kecil semakin mengeras. Kali ini aku khawatir. Jangan-jangan neneknya sedang ke kamar mandi sebentar. Aku tergopoh berlari ke kamar.

“Kenapa, Buk?” tanyaku ketika kudapati ternyata putriku masih dalam gendongan mertuaku.

“Nggak tahu, nih, tiba-tiba nangis. Daritadi nggak mau tenang.”

“Apa mungkin sudah ngompol?” tebakku.

“Tapi, ini nggak basah,” terangnya. “Mungkin capai dibedung daritadi, atau dia lapar.”

Mertuaku meletakkan si kecil di ranjang. Lantas, dengan hati-hati dibukanya bedung yang membalut tubuh putriku.

“Coba dikasih ASI, gih!” lanjutnya ketika si mungil belum juga berhenti menangis.

Kuraih si kecil yang sudah bisa bergerak-gerak bebas karena bedungannya sudah dilepas. Kutaruh dia dalam pangkuanku. Kuberi dia ASI. Tapi...

“Oeeek... oeeek...!” tangis si kecil semakin membuncah.

Aku dan mertuaku heran dibuatnya. Si kecil rupanya tak ingin ASI. Aku cek celananya tidak basah, berarti dia tidak mengompol. Lalu, apa yang terjadi, aku bingung.

Kulihat mertuaku keluar kamar. Lalu, beberapa saat kemudia dia masuk lagi.

“Nah, ini dia yang menyebabkan cucuku nangis terus,” katanya seraya menunjukkan sebuah selimut yang sedikit basah terkena gerimis.

Aku melongo tak mengerti. Kuingat tadi pagi aku memang mencucinya. Tapi, sore tadi aku tidak begitu memperhatikan bahwa ternyata selimut itu belum ikut kuangkat.

“Aku temukan jatuh. Mungkin kamu nggak lihat tadi pas angkat jemurannya,” lanjut mertuaku.

“Sudah, ya, Sayang. Ini selimutnya sudah Nenek bawa masuk. Nanti dijemur di dalam rumah dulu, ya.” Mertuaku berbisik di telinga putriku.

“Bayi memang suka begitu. Kalau sudah malam, tapi ada barangnya yang masih di luar, dia akan menangis terus. Apalagi di luar mulai hujan,” terangnya.

Aku belum sepenuhnya mengerti alasan logisnya. Tapi, aku jadi ingat. Ini adalah kepercayaan orang dulu. Ibuku juga pernah mengatakannya. Aku sendiri antara percaya dan tidak percaya. Namun, kulihat putriku kini sudah tenang, bahkan hampir tertidur. Entahlah, ini hanya kebetulan atau memang benar.


JOG, En-301214

*) cerita seorang ibu muda di kampungku



Lihat juga FTS lainnya di sini

No comments:

Post a Comment