“Le, kenapa
menangis?” tanya Darmo ketika melihat cucunya pulang sekolah dengan air mata
bercucuran.
Wawan hanya
diam saja tak menjawab pertanyaan kakeknya. Namun, air matanya masih saja
berlinangan. Napasnya sedikit tersengal bercampur dengan isak tangisnya.
“Sini, Le,
duduk dulu!” pinta Darmo.
Wawan
mengikuti saja perintah kakeknya. Dengan lemas, dia menghampiri lelaki tua yang
tengah duduk malas di kursi rotan itu.
“Cerita sama
Kakek sini!” Darmo masih berusaha membujuk cucunya.
Wawan tetap
membisu. Tangannya kemudian meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah buku gambar.
Dibukanya beberapa lembar dan berhentilah dia di lembar gambaran terakhirnya.
Lantas, ditunjukkannya gambar tersebut pada sang Kakek.
“Ini PR yang
kamu kerjakan kemarin sore, kan, Le?” tanya sang Kakek.
Wawan hanya
mengangguk seraya mengusap air matanya. Dilihatnya kembali sebuah pemandangan
keramaian pasar yang ia gambar kemarin sore. Di pojok kanan bawah kini sudah
dibubuhi tanda tangan sang guru berikut nilainya. Sebuah angka delapan tampak
jelas dalam pandangan siapa pun yang melihat gambar tersebut.
“Bagus, Le.
Ini juga dapat nilai delapan. Terus kenapa menangis?” Darmo mengeryitkan
dahinya. Sementara yang ditanya tetap diam membisu.
“Oh…, karena
Kakek kemarin bilang kalau harus dapet nilai sepuluh, ya?” tebak Darmo, “Le, di
dunia ini nggak ada yang sempurna. Kemarin Kakek hanya bercanda, supaya kamu
punya semangat mengerjakan PR-nya. Delapan itu sudah nilai yang bagus, lho.
Gurumu pasti bangga.”
“Kakek suka
menggambar?” tanya Wawan.
“Hahaha….
Kakek malah nggak bisa menggambar, Le. Kakek kalah sama kamu,” jawab Darmo
seraya terkekeh.
“Bapak?”
“Setahu
Kakek, bapakmu nggak suka menggambar,” jawab Darmo seraya menghela napas
panjang.
Tiba-tiba,
Darmo teringat lagi pada menantunya yang kini entah berada di mana. Hatinya
selalu pilu jika mengingat kejadian beberapa tahun silam itu.
“Jadi…,
benar, Kek…, Mbak Mira itu ibuku…?”
Darmo
tersentak kaget. Pikirannya tak keruan, bingung harus menjawab apa.
“Kok, kamu
tanya seperti itu, Le? Kan, Kakek sudah pernah bilang kalau ibumu sedang kerja
di Jakarta. Cari uang buat sekolahmu.”
“Mbak Mira
ke mana-mana selalu bawa kanvas kecil dan kuas, begitu kata temanku yang
bapaknya kerja di rumah sakit jiwa seberang. Dan Wawan lihat sendiri, kemarin
dia kabur. Wawan juga lihat kalau dia bawa kanvas dan kuasnya.”
Wawan
kembali terisak. Sejak kecil dia memang tinggal bersama kakeknya. Sang Kakek
selalu mengatakan bahwa bapaknya sudah meninggal, sehingga ibunya mau tak mau
harus bekerja di luar kota.
“Tadi, pas
lewat depan ruang guru, Wawan mendengar beberapa Guru mengatakan bahwa bakat
Wawan ini turun dari Ibu, dan mereka menyebut-nyebut nama Mbak Mira,” lanjut
Wawan sedih.
Darmo
menghela napas panjang. Kembali terlintas kenangan beberapa tahun yang lalu.
Ketika menantunya melarang keras Mira---anak perempuannya---untuk menekuni
dunia lukis. Karena Mira keras kepala, kembali melukis ketika Wawan berusia
satu tahun, akhirnya menantunya itu memilih meninggalkan putrinya. Kejadian itu
sangat memukul hati Mira hingga membuat Mira terganggu kejiwaannya.
JOG, En-070115
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment