Tuesday, April 21, 2015

Gambar Wawan

Penulis: Endar Wahyuni



“Le, kenapa menangis?” tanya Darmo ketika melihat cucunya pulang sekolah dengan air mata bercucuran.

Wawan hanya diam saja tak menjawab pertanyaan kakeknya. Namun, air matanya masih saja berlinangan. Napasnya sedikit tersengal bercampur dengan isak tangisnya.

“Sini, Le, duduk dulu!” pinta Darmo.

Wawan mengikuti saja perintah kakeknya. Dengan lemas, dia menghampiri lelaki tua yang tengah duduk malas di kursi rotan itu.

“Cerita sama Kakek sini!” Darmo masih berusaha membujuk cucunya.

Wawan tetap membisu. Tangannya kemudian meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah buku gambar. Dibukanya beberapa lembar dan berhentilah dia di lembar gambaran terakhirnya. Lantas, ditunjukkannya gambar tersebut pada sang Kakek.

“Ini PR yang kamu kerjakan kemarin sore, kan, Le?” tanya sang Kakek.

Wawan hanya mengangguk seraya mengusap air matanya. Dilihatnya kembali sebuah pemandangan keramaian pasar yang ia gambar kemarin sore. Di pojok kanan bawah kini sudah dibubuhi tanda tangan sang guru berikut nilainya. Sebuah angka delapan tampak jelas dalam pandangan siapa pun yang melihat gambar tersebut.

“Bagus, Le. Ini juga dapat nilai delapan. Terus kenapa menangis?” Darmo mengeryitkan dahinya. Sementara yang ditanya tetap diam membisu.

“Oh…, karena Kakek kemarin bilang kalau harus dapet nilai sepuluh, ya?” tebak Darmo, “Le, di dunia ini nggak ada yang sempurna. Kemarin Kakek hanya bercanda, supaya kamu punya semangat mengerjakan PR-nya. Delapan itu sudah nilai yang bagus, lho. Gurumu pasti bangga.”

“Kakek suka menggambar?” tanya Wawan.

“Hahaha…. Kakek malah nggak bisa menggambar, Le. Kakek kalah sama kamu,” jawab Darmo seraya terkekeh.

“Bapak?”

“Setahu Kakek, bapakmu nggak suka menggambar,” jawab Darmo seraya menghela napas panjang.

Tiba-tiba, Darmo teringat lagi pada menantunya yang kini entah berada di mana. Hatinya selalu pilu jika mengingat kejadian beberapa tahun silam itu.

“Jadi…, benar, Kek…, Mbak Mira itu ibuku…?”

Darmo tersentak kaget. Pikirannya tak keruan, bingung harus menjawab apa.

“Kok, kamu tanya seperti itu, Le? Kan, Kakek sudah pernah bilang kalau ibumu sedang kerja di Jakarta. Cari uang buat sekolahmu.”

“Mbak Mira ke mana-mana selalu bawa kanvas kecil dan kuas, begitu kata temanku yang bapaknya kerja di rumah sakit jiwa seberang. Dan Wawan lihat sendiri, kemarin dia kabur. Wawan juga lihat kalau dia bawa kanvas dan kuasnya.”

Wawan kembali terisak. Sejak kecil dia memang tinggal bersama kakeknya. Sang Kakek selalu mengatakan bahwa bapaknya sudah meninggal, sehingga ibunya mau tak mau harus bekerja di luar kota.

“Tadi, pas lewat depan ruang guru, Wawan mendengar beberapa Guru mengatakan bahwa bakat Wawan ini turun dari Ibu, dan mereka menyebut-nyebut nama Mbak Mira,” lanjut Wawan sedih.

Darmo menghela napas panjang. Kembali terlintas kenangan beberapa tahun yang lalu. Ketika menantunya melarang keras Mira---anak perempuannya---untuk menekuni dunia lukis. Karena Mira keras kepala, kembali melukis ketika Wawan berusia satu tahun, akhirnya menantunya itu memilih meninggalkan putrinya. Kejadian itu sangat memukul hati Mira hingga membuat Mira terganggu kejiwaannya.


JOG, En-070115



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

No comments:

Post a Comment