Hari libur
kali ini sengaja kumanfaatkan untuk belanja baju. Maklum, minggu depan ada
kondangan dan aku butuh dres baru.
Pukul sepuluh aku berangkat dari rumah. Langit pagi ini sedikit mendung.
Mungkin karena mulai memasuki musim penghujan.
Di tengah
perjalanan, tiba-tiba hujan turun deras. Aku segera menepi, mencari tempat
teduh untuk mengenakan mantel. Kudapati sebuah salon potong rambut yang masih
tutup. Aku berlindung di terasnya. Buru-buru kuambil mantel dari dalam tas.
Ah... sial! Mantelku tidak ada. Aku baru ingat, kemarin habis kujemur dan belum
aku masukkan kembali ke tas.
Akhirnya,
kuputuskan berteduh dahulu di teras salon tersebut. Mumpung salon belum buka,
jadi nggak merasa rikuh. Tidak mungkin juga bagiku untuk meneruskan perjalanan.
Nggak lucu kalau aku harus tiba di toko baju dalam kondisi basah kuyup. Mana
boleh aku nanti masuk ke toko, apalagi mencoba bajunya.
SREEEKKK…!!!
Tirai
jendela salon dibuka. Seorang perempuan menyembul di balik kaca besar.
Kemudian, langkah kakinya tertuju pada pintu kaca. Dibaliknya tulisan ‘TUTUP’
dan berubah menjadi ‘BUKA’. Ini artinya, aku nggak bisa berlama-lama di sini.
“Mbak,
masuk, yuk! Sudah dari tadi, ya? Kasihan, di luar dingin,” ajak perempuan itu
dari ambang pintu.
“Eh...,
tapi...”
“Maaf, ya,
nunggu lama. Tadi anakku sedikit rewel. Jadi, buka salonnya telat, deh,”
lanjutnya memotong pembicaraanku.
Aku yang
gelagapan, bingung mau menerangkan bagaimana, hanya bisa membuntutinya masuk.
Tangannya sedikit menarikku, hingga aku terpaksa mengikuti apa maunya.
“Mau potong
gaya apa?” tanyanya sambil mempersilakan aku duduk di hadapan cermin besar.
“Em..., poni
aja, deh, tolong dipendekin dikit!”
“Oke,
cusss....”
Kuperhatikan
lagi rambutku lewat cermin. Rambut yang baru dua bulan lalu kurapikan di salon
sebelah rumah. Dan sekarang mana mungkin kupotong lagi. Alhasil, kupilih anak
rambutku sebagai alasan aku berteduh di salon ini. Poni yang sebenarnya belum
terlalu panjang. Namun, hanya itu yang bisa aku korbankan.
Kresss...kresss...kresss...!
Kuperhatikan
perempuan tadi mulai lincah memainkan guntingnya. Dan...
“Mbak, kok,
jadi pendek banget?” tanyaku tiba-tiba ketika kulihat potongan ala ‘Dora’
bersemayam di anak rambutku.
“Nggak, kok,
Mbak. Ini memang ukurannya segini. Nanti seminggu lagi pasti kelihatan lebih
bagus,” jelasnya.
Aku menghela
napas panjang. Apa mau dikata, sudah telanjur juga. Kulirik kondisi luar
jendela, hujan mulai reda.
“Oke, lah,
Mbak. Sudah selesai, kan? Jadinya berapa?” tanyaku sedikit lesu.
“Dua puluh
aja....”
“Berapa?!”
tanyaku memastikan ketika mendengar nominal yang cukup mencolok bagi sejumput
anak rambutku.
“Dua puluh
ribu, Ciiinnn...,” ulangnya.
Kuserahkan
selembar dua puluh ribuan kepadanya, lantas aku berpamit. Aku benar-benar
semakin kecewa. Hanya potong anak rambut saja harus bayar dua puluh ribu. Kalau
di salon samping rumah duit segitu bisa buat potong poni empat kali, batinku
kesal.
JOG, En-231214
*) Kejadian
yang dialami seorang teman tahun 2012
Lihat juga FTS lainnya di sini
No comments:
Post a Comment