Tuesday, April 21, 2015

Gara-Gara Hujan

Penulis: Endar Wahyuni



Hari libur kali ini sengaja kumanfaatkan untuk belanja baju. Maklum, minggu depan ada kondangan dan aku butuh dres baru. Pukul sepuluh aku berangkat dari rumah. Langit pagi ini sedikit mendung. Mungkin karena mulai memasuki musim penghujan.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun deras. Aku segera menepi, mencari tempat teduh untuk mengenakan mantel. Kudapati sebuah salon potong rambut yang masih tutup. Aku berlindung di terasnya. Buru-buru kuambil mantel dari dalam tas. Ah... sial! Mantelku tidak ada. Aku baru ingat, kemarin habis kujemur dan belum aku masukkan kembali ke tas.

Akhirnya, kuputuskan berteduh dahulu di teras salon tersebut. Mumpung salon belum buka, jadi nggak merasa rikuh. Tidak mungkin juga bagiku untuk meneruskan perjalanan. Nggak lucu kalau aku harus tiba di toko baju dalam kondisi basah kuyup. Mana boleh aku nanti masuk ke toko, apalagi mencoba bajunya.

SREEEKKK…!!!

Tirai jendela salon dibuka. Seorang perempuan menyembul di balik kaca besar. Kemudian, langkah kakinya tertuju pada pintu kaca. Dibaliknya tulisan ‘TUTUP’ dan berubah menjadi ‘BUKA’. Ini artinya, aku nggak bisa berlama-lama di sini.

“Mbak, masuk, yuk! Sudah dari tadi, ya? Kasihan, di luar dingin,” ajak perempuan itu dari ambang pintu.

“Eh..., tapi...”

“Maaf, ya, nunggu lama. Tadi anakku sedikit rewel. Jadi, buka salonnya telat, deh,” lanjutnya memotong pembicaraanku.

Aku yang gelagapan, bingung mau menerangkan bagaimana, hanya bisa membuntutinya masuk. Tangannya sedikit menarikku, hingga aku terpaksa mengikuti apa maunya.

“Mau potong gaya apa?” tanyanya sambil mempersilakan aku duduk di hadapan cermin besar.

“Em..., poni aja, deh, tolong dipendekin dikit!”

“Oke, cusss....”

Kuperhatikan lagi rambutku lewat cermin. Rambut yang baru dua bulan lalu kurapikan di salon sebelah rumah. Dan sekarang mana mungkin kupotong lagi. Alhasil, kupilih anak rambutku sebagai alasan aku berteduh di salon ini. Poni yang sebenarnya belum terlalu panjang. Namun, hanya itu yang bisa aku korbankan.

Kresss...kresss...kresss...!

Kuperhatikan perempuan tadi mulai lincah memainkan guntingnya. Dan...

“Mbak, kok, jadi pendek banget?” tanyaku tiba-tiba ketika kulihat potongan ala ‘Dora’ bersemayam di anak rambutku.

“Nggak, kok, Mbak. Ini memang ukurannya segini. Nanti seminggu lagi pasti kelihatan lebih bagus,” jelasnya.

Aku menghela napas panjang. Apa mau dikata, sudah telanjur juga. Kulirik kondisi luar jendela, hujan mulai reda.

“Oke, lah, Mbak. Sudah selesai, kan? Jadinya berapa?” tanyaku sedikit lesu.

“Dua puluh aja....”

“Berapa?!” tanyaku memastikan ketika mendengar nominal yang cukup mencolok bagi sejumput anak rambutku.

“Dua puluh ribu, Ciiinnn...,” ulangnya.

Kuserahkan selembar dua puluh ribuan kepadanya, lantas aku berpamit. Aku benar-benar semakin kecewa. Hanya potong anak rambut saja harus bayar dua puluh ribu. Kalau di salon samping rumah duit segitu bisa buat potong poni empat kali, batinku kesal.


JOG, En-231214

*) Kejadian yang dialami seorang teman tahun 2012



Lihat juga FTS lainnya di sini

No comments:

Post a Comment