Penulis: Endar Wahyuni
Waktu menunjukkan pukul empat sore
ketika Ra masih sibuk berdandan di depan cermin. Sekali lagi, dipandanginya
lekat-lekat bayangan di cermin. Direkahkannya senyum di pipi, seolah ingin
memastikan dia cantik dengan senyumannya hari ini. Sore ini, dia akan bersua
dengan kekasih hatinya. Sosok yang ternyata begitu pandai mengunci pintu
hatinya untuk orang lain.
“Jadi pergi, Nak?” sapa ibunya yang
tiba-tiba sudah di sampingnya.
“Ehhh..., iya, Bu. Ra berangkat dulu ya,
Bu!” pamitnya seraya meraih tas mungilnya.
Matahari mulai turun ketika Ra tiba di
hamparan hijau itu. Tempat Ra akan bertemu kembali dengan kekasihnya seperti
waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada tempat lain lagi.
Angin semilir mengoyakkan anak rambut
Ra. Ra berjalan ke sebuah toko bunga terdekat. Dipilihnya mawar merah
kesukaannya, juga mawar putih. Hari ini adalah hari ke-730, tepat setelah
pertemuan pertama mereka. Maka dari itu, dia sengaja membeli bunga kesukaannya,
juga bunga dengan warna kesukaan lelakinya.
Selesai urusan bunga, Ra segera mempercepat
langkah menuju tempat lelakinya menunggu. Terbayang di wajahnya, senyum
lelakinya itu lengkap dengan sorot mata yang begitu disukainya. Ahh...,
lagi-lagi dia selalu membuat hatiku lumpuh, batinnya.
“Hai, Sayang. Maaf, aku terlambat,”
bisik Ra di samping lelakinya.
“Kamu nggak marah, kan? Ini buatmu!”
lanjut Ra seraya memberikan seikat bunga mawar putih. Lelakinya hanya
bergeming.
“Sengaja aku beli tadi. Aku tahu kamu
suka warna putih. Ini sebagai tanda pengingat pertemuan kita dua tahun yang
lalu. Kamu ingat? Pertemuan yang tak disengaja itu benar-benar membuatku gila. Juga
membuatku kehilangan kunci hatiku sendiri. Kamu tega mencurinya dariku.
Sekarang kembalikan, boleh?” tanya Ra masih nyerocos di samping lelakinya yang
tak bereaksi sedikitpun.
Ra memandanginya lekat-lekat. Angin sore
masih membelainya, memanjakan air matanya yang tak sadar mulai berjatuhan.
Lelakinya kini menjadi dingin dalam kesendiriannya. Tapi, Ra selalu yakin, hati
lelakinya tak akan pernah sebeku raganya. Lelakinya itu akan selalu mencintainya,
sampai kapanpun.
“Sayang, hari ini hari spesial bagiku. Bertemu
denganmu tepat dua tahun pertemuan kita. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu.
Tapi, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin memintamu mengembalikan kunci
hatiku. Maaf, bukannya aku mengkhianatimu. Hanya saja keadaan ini tak
memungkinkan bagi kita. Lelaki di depan sana menungguku. Dan senja ini mungkin
menjadi saksi petemuan terakhir kita. Kalau ‘kau berkenan, serahkan kunci itu
padanya....”
Air mata Ra semakin deras. Wajahnya
tertunduk. Hatinya terasa sesak, sakit yang begitu dalam karena pilihannya
sendiri. Pilihan untuk bersama lelaki lain saat dia benar-benar masih mencintai
lelaki di sampingnya itu.
“Hari sudah mulai gelap. Pulang, yuk!”
Seorang lelaki mendekati Ra.
“Aku pulang dulu, ya, Rof. Maaf kalau
aku harus mengingkari janji kita dulu. Besok hari pernikahanku dengan Mas
Helmi. Aku meminta restumu,” pamit Ra seraya mengusap butir-butir bening yang bergelimang.
Ra mengambil mawar merah yang dibelinya
tadi. Ditaburkannya tepat di atas pusara lelakinya. Tangisnya kembali buncah.
Tak kuasa menahan sakit yang luar biasa. Kenangan-kenangan bersama Rofi kembali
bermunculan. Membuatnya begitu enggan meninggalkan tempat itu, apalagi duduk di
kursi pelaminan esok hari. Tapi, apa daya? Tuhan berkata lain.
Helmi memapah Ra pulang. Senja hampir
dimakan malam. Mengusap duka dalam lara. Menawarkan mimpi untuk diwujudkan esok
hari. Tubuh Ra dan Helmi mulai menghilang dari arena pemakaman.
No comments:
Post a Comment