Saturday, October 11, 2014

Saksi Bisu di Tengah Terik


Penulis: Endar Wahyuni 




Matahari berada di puncaknya ketika Rey tiba di kos Dian. Dia segera memarkirkan sepeda motornya di bawah pohon rindang, tepat di depan pintu kos Dian. Peluhnya menetes, rasa haus terus menggodanya untuk segera berteduh dan menikmati air es.



“Di...?” Rey memanggil Dian dari luar pintu. Tidak berapa lama Dian menyembul dari balik pintu. Tersenyum sumringah sambil membawa sebotol air mineral dingin yang baru saja dibelinya.”



Masuk, yuk!” ajak Dian sambil menyerahkan botol air mineral yang sudah dia siapkan khusus untuk tamu istimewanya itu. Rey mengikuti langkah Dian sambil sesekali meneguk air minumnya. Sampai di kamar kos, Rey duduk di lantai tanpa alas sambil menyenderkan tubuhnya di meja kecil.



“Kok di lantai, sih?” Dian pasang muka manja.



“Biar ademan dikit. Di luar panas banget, Di!” Rey menyeka keringatnya.



“Sini aku bantu pake tissue!” Dian mengambil beberapa lembar tissue muka lantas mendekati Ryan.



“Nggak usah, Di. Udah, kok.”



“Kamu capek, ya? Kok aneh banget hari ini. Lagian kamu siang bolong gini ngotot mau ketemu.” Dian cemberut, tambah kecut lagi lihat wajah Rey yang ditekuk dari tadi.



“Di, aku rasa kita harus mengakhiri semua ini....”



“Kamu ngomong apa sih, Rey?” Dian mulai memerah matanya. Lekat, ditatapnya wajah Rey. Lelaki yang selama ini selalu menjadi malaikatnya. Orang yang selalu bisa membuatnya tertawa lepas. Sosok yang sangat dicintainya. Tapi, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba di siang bolong begini mengucapkan kata-kata yang membuatnya seperti tersambar petir.



“Aku serius, Di. Aku tahu kamu bakalan kecewa, tapi hubungan ini nggak mungkin kita pertahankan.



“Rey, aku nggak bisa! Aku butuh kamu! Kamu tega ninggalin aku gitu aja...?”



“Bukan hanya kamu yang sakit, Di. Aku juga berat mengambil keputusan ini. Tapi dari awal kita sudah saling mengerti, bahwa hubungan ini tidak akan mendapat restu dari orang tua kita....”



Bulshit soal restu! Kalau kamu sayang aku harusnya kamu nggak usah mikirin yang lain. Hidup ini kita yang jalani, bukan mereka...!”



“Aku mohon mengertilah, Di! Aku dan kamu sama-sama tersakiti dengan keputusan ini. Cuma nggak ada pilihan lain, aku juga ingin membuat orang tuaku bahagia. Dan kamu juga harus bisa membahagiakan orang tuamu, Di!”



“Dengar, Rey! Ada banyak cara untuk membahagiakan orang tua. Nggak harus dengan kita berpisah, kan?” Dian semakin garang, amarahnya meluap-luap.



“Tapi aku tetap dengan keputusanku, Di. Maafkan aku! Kita harus sama-sama saling mendukung. Tapi bukan sebagai sepasang kekasih, melainkan sebagai sahabat,” tukas Rey.



“Kenapa, Rey? Kenapa mereka tidak mengerti kalau kita saling mencintai? Kenapa mereka menuntut kita untuk bersama pilihan mereka?” Dian menangis hebat, dipeluknya Rey erat-erat.



“Aku nggak mau kehilangan kamu, Rey. Aku nggak mau kehilangan cinta kita. Biarlah orang beranggapan apa, menghujat semau mereka. Mereka nggak tau apa yang kita rasakan. Mereka hanya bisa ngomong kalau kita itu tidak pantas bersama!” Dian semakin meradang. Tangisnya buncah di dekapan Rey. Sementara Rey hanya diam membisu.



“Aku ingin cinta kita abadi sampai akhir hayat, Rey. Aku benar-benar sangat mencintaimu,” ucap Dian seiring jeritan Rey yang memecahkan kesunyian kos yang kebanyakan sedang ditinggal pergi atau ditinggal terlelap oleh pennghuninya.



Kini, tubuh Rey lunglai berlumuran darah. Sementara tangan kanan Dian memegang pisau. Pisau yang diam-diam diambilnya dari meja tempat Rey bersandar. Mata Rey masih sedikit terbuka, bibirnya komat-kamit seperti sedang mengucapkan sesuatu. Namun, Dian tak mampu mendengarnya.



“Maafin aku, Rey. Ini keputusan yang terbaik. Kita sudah janji akan saling mencintai selamanya. Dan sekarang aku buktikan janji kita!” Dian menancapkan pisau yang sudah berlumuran darah itu ke tubuhnya, tepat mengarah ke jantungnya. Dian jatuh bersimbah darah. Beberapa penghuni kos yang masih ada di kamarnya keluar, berlari ke kamar Dian karena sempat mendengar teriakan Rey.

                   

Terlambat!



Yang mereka dapati ternyata tinggal dua jasad yang jatuh di lantai bersimbah darah, juga pisau yang menjadi saksi bisu pertengkaran sepasang lelaki yang meraka ketahui sudah memadu kasih setahun belakangan ini.




Kulon Progo, EN-090914




Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

 

No comments:

Post a Comment