Friday, October 31, 2014

KUNCI HATI


Penulis: Endar Wahyuni 




          Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika Ra masih sibuk berdandan di depan cermin. Sekali lagi, dipandanginya lekat-lekat bayangan di cermin. Direkahkannya senyum di pipi, seolah ingin memastikan dia cantik dengan senyumannya hari ini. Sore ini, dia akan bersua dengan kekasih hatinya. Sosok yang ternyata begitu pandai mengunci pintu hatinya untuk orang lain.

“Jadi pergi, Nak?” sapa ibunya yang tiba-tiba sudah di sampingnya.

“Ehhh..., iya, Bu. Ra berangkat dulu ya, Bu!” pamitnya seraya meraih tas mungilnya.

Matahari mulai turun ketika Ra tiba di hamparan hijau itu. Tempat Ra akan bertemu kembali dengan kekasihnya seperti waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada tempat lain lagi.

Angin semilir mengoyakkan anak rambut Ra. Ra berjalan ke sebuah toko bunga terdekat. Dipilihnya mawar merah kesukaannya, juga mawar putih. Hari ini adalah hari ke-730, tepat setelah pertemuan pertama mereka. Maka dari itu, dia sengaja membeli bunga kesukaannya, juga bunga dengan warna kesukaan lelakinya.

Selesai urusan bunga, Ra segera mempercepat langkah menuju tempat lelakinya menunggu. Terbayang di wajahnya, senyum lelakinya itu lengkap dengan sorot mata yang begitu disukainya. Ahh..., lagi-lagi dia selalu membuat hatiku lumpuh, batinnya.

“Hai, Sayang. Maaf, aku terlambat,” bisik Ra di samping lelakinya.

“Kamu nggak marah, kan? Ini buatmu!” lanjut Ra seraya memberikan seikat bunga mawar putih. Lelakinya hanya bergeming.

“Sengaja aku beli tadi. Aku tahu kamu suka warna putih. Ini sebagai tanda pengingat pertemuan kita dua tahun yang lalu. Kamu ingat? Pertemuan yang tak disengaja itu benar-benar membuatku gila. Juga membuatku kehilangan kunci hatiku sendiri. Kamu tega mencurinya dariku. Sekarang kembalikan, boleh?” tanya Ra masih nyerocos di samping lelakinya yang tak bereaksi sedikitpun.

Ra memandanginya lekat-lekat. Angin sore masih membelainya, memanjakan air matanya yang tak sadar mulai berjatuhan. Lelakinya kini menjadi dingin dalam kesendiriannya. Tapi, Ra selalu yakin, hati lelakinya tak akan pernah sebeku raganya. Lelakinya itu akan selalu mencintainya, sampai kapanpun.

“Sayang, hari ini hari spesial bagiku. Bertemu denganmu tepat dua tahun pertemuan kita. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin memintamu mengembalikan kunci hatiku. Maaf, bukannya aku mengkhianatimu. Hanya saja keadaan ini tak memungkinkan bagi kita. Lelaki di depan sana menungguku. Dan senja ini mungkin menjadi saksi petemuan terakhir kita. Kalau ‘kau berkenan, serahkan kunci itu padanya....”

Air mata Ra semakin deras. Wajahnya tertunduk. Hatinya terasa sesak, sakit yang begitu dalam karena pilihannya sendiri. Pilihan untuk bersama lelaki lain saat dia benar-benar masih mencintai lelaki di sampingnya itu.

“Hari sudah mulai gelap. Pulang, yuk!” Seorang lelaki mendekati Ra.

“Aku pulang dulu, ya, Rof. Maaf kalau aku harus mengingkari janji kita dulu. Besok hari pernikahanku dengan Mas Helmi. Aku meminta restumu,” pamit Ra seraya mengusap  butir-butir bening yang bergelimang.

Ra mengambil mawar merah yang dibelinya tadi. Ditaburkannya tepat di atas pusara lelakinya. Tangisnya kembali buncah. Tak kuasa menahan sakit yang luar biasa. Kenangan-kenangan bersama Rofi kembali bermunculan. Membuatnya begitu enggan meninggalkan tempat itu, apalagi duduk di kursi pelaminan esok hari. Tapi, apa daya? Tuhan berkata lain.

Helmi memapah Ra pulang. Senja hampir dimakan malam. Mengusap duka dalam lara. Menawarkan mimpi untuk diwujudkan esok hari. Tubuh Ra dan Helmi mulai menghilang dari arena pemakaman.


JOG, En-311014




Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini


No comments:

Post a Comment