Friday, June 5, 2015

Adik Baru

Penulis: Endar Wahyuni



“Rifky, mau ke mana, Nak? Ini sudah Magrib, jangan pergi-pergi!”

Bocah berusia enam tahun itu tak menggubris ucapan ibunya. Dia berlari menuju garasi dan segera menggenjot sepedanya.

“Ayo naik!” pinta Rifky pada gadis kecil usia empat tahun yang setia berdiri di halaman rumah tetangganya.

“Takut....”

“Nggak apa-apa. Kan, katanya kemarin pengin main sepeda,” bujuk Rifky.

Akhirnya bocah perempuan itu luluh dan bersedia bersepeda dengan Rifky. Di sela-sela perjalan mengitari gang-gang sekitar rumah mereka, keduanya saling bercanda dan tertawa. Rupanya Rifky begitu mahir menjadi seorang kakak bagi gadis itu. Walau masih kecil, dia pandai menciptakan gurauan-gurauan yang lumayan menggelitik.

“Kok, aku baru lihat kamu kemarin, sih? Katamu tinggal bareng Tante Winda,” tanya Rifky penasaran karena pertemuannya dengan gadis itu baru kemarin sore waktu dia pulang dari bermain.

“Iya, kemarin-kemarin aku takut keluar rumah.”

“Kenapa?” Rifky semakin penasaran.

Bocah itu hanya mempererat pegangannya lantas beberapa saat terdiam. Sebelum akhirnya dia mengutarakan keinginannya, “Kamu baik banget sama aku. Boleh aku jadi adikmu?”

“Boleh. Aku senang sekali sekarang punya adik yang cantik seperti kamu.”

Keduanya kembali bercengkerama menyusuri jalan yang semakin jauh dari gang tempat tinggal mereka. Sampai pada akhirnya sebuah mobil berpapasan lalu menghentikan laju Rifky dan gadis tersebut.

“Rifky, kamu ngapain main sepeda sampai sini? Ini sudah malam, Nak, sudah hampir jam tujuh. Ayo pulang,” tegur lelaki yang baru saja keluar dari mobil tersebut.

“Sepedanya ditaruh dalam mobil saja, kamu duduk di depan,” lanjut lelaki itu yang tak lain adalah ayahnya. Dia lantas mengira-ngira apakah sepeda itu muat masuk dalam mobil atau tidak.

“Rifky pulang naik sepeda saja sama Rinjani, Yah,” jawab Rifky tanpa memedulikan ayahnya yang masih melongo kebingungan.

Tanpa banyak bicara lagi dan sebelum ayahnya melarang, Rifky segera mengayuh sepedanya. Rinjani---gadis yang diboncengkannya sejak tadi---hanya tertawa melihat ulah Kakak barunya itu.

Setelah mengantarkan Rinjani sampai halaman rumah Tante Winda, Rifky bergegas pulang.

“Lain kali kalau sudah magrib jangan kelayapan, naik sepeda sendirian lagi,” nasihat ayahnya yang menunggu di teras bersama sang Ibu.

“Loh, aku, kan, tadi bersama Rinjani, Yah.”

“Rinjani?” ayahnya bingung.

“Iya. Ayah tadi nggak lihat? Rinjani anaknya Tante Winda. Cantik banget mirip ibunya,” terang Rifky, “tapi..., dia juga memiliki tanda lahir di tangan mirip Ayah. Kebetulan yang menyenangkan bukan, Yah?”

Ibunya Rifky melirik tajam pada sang suami. Yang merasa dilirik hanya menggelengkan kepala lantas berbisik pelan pada istrinya, “Nggak tahu. Aku yakin sudah diaborsi. Aku sendiri yang mengantarnya.”


JOG, En-220415



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
 

No comments:

Post a Comment