“Rifky, mau ke mana, Nak? Ini sudah Magrib, jangan pergi-pergi!”
Bocah berusia enam tahun itu tak menggubris ucapan ibunya. Dia
berlari menuju garasi dan segera menggenjot sepedanya.
“Ayo naik!” pinta Rifky pada gadis kecil usia empat tahun yang
setia berdiri di halaman rumah tetangganya.
“Takut....”
“Nggak apa-apa. Kan, katanya kemarin pengin main sepeda,” bujuk
Rifky.
Akhirnya bocah perempuan itu luluh dan bersedia bersepeda dengan Rifky.
Di sela-sela perjalan mengitari gang-gang sekitar rumah mereka, keduanya saling
bercanda dan tertawa. Rupanya Rifky begitu mahir menjadi seorang kakak bagi
gadis itu. Walau masih kecil, dia pandai menciptakan gurauan-gurauan yang
lumayan menggelitik.
“Kok, aku baru lihat kamu kemarin, sih? Katamu tinggal bareng
Tante Winda,” tanya Rifky penasaran karena pertemuannya dengan gadis itu baru
kemarin sore waktu dia pulang dari bermain.
“Iya, kemarin-kemarin aku takut keluar rumah.”
“Kenapa?” Rifky semakin penasaran.
Bocah itu hanya mempererat pegangannya lantas beberapa saat
terdiam. Sebelum akhirnya dia mengutarakan keinginannya, “Kamu baik banget sama
aku. Boleh aku jadi adikmu?”
“Boleh. Aku senang sekali sekarang punya adik yang cantik seperti
kamu.”
Keduanya kembali bercengkerama menyusuri jalan yang semakin jauh
dari gang tempat tinggal mereka. Sampai pada akhirnya sebuah mobil berpapasan
lalu menghentikan laju Rifky dan gadis tersebut.
“Rifky, kamu ngapain main sepeda sampai sini? Ini sudah malam,
Nak, sudah hampir jam tujuh. Ayo pulang,” tegur lelaki yang baru saja keluar
dari mobil tersebut.
“Sepedanya ditaruh dalam mobil saja, kamu duduk di depan,” lanjut
lelaki itu yang tak lain adalah ayahnya. Dia lantas mengira-ngira apakah sepeda
itu muat masuk dalam mobil atau tidak.
“Rifky pulang naik sepeda saja sama Rinjani, Yah,” jawab Rifky
tanpa memedulikan ayahnya yang masih melongo kebingungan.
Tanpa banyak bicara lagi dan sebelum ayahnya melarang, Rifky
segera mengayuh sepedanya. Rinjani---gadis yang diboncengkannya sejak
tadi---hanya tertawa melihat ulah Kakak barunya itu.
Setelah mengantarkan Rinjani sampai halaman rumah Tante Winda,
Rifky bergegas pulang.
“Lain kali kalau sudah magrib jangan kelayapan, naik sepeda
sendirian lagi,” nasihat ayahnya yang menunggu di teras bersama sang Ibu.
“Loh, aku, kan, tadi bersama Rinjani, Yah.”
“Rinjani?” ayahnya bingung.
“Iya. Ayah tadi nggak lihat? Rinjani anaknya Tante Winda. Cantik
banget mirip ibunya,” terang Rifky, “tapi..., dia juga memiliki tanda lahir di
tangan mirip Ayah. Kebetulan yang menyenangkan bukan, Yah?”
Ibunya Rifky melirik tajam pada sang suami. Yang merasa dilirik
hanya menggelengkan kepala lantas berbisik pelan pada istrinya, “Nggak tahu.
Aku yakin sudah diaborsi. Aku sendiri yang mengantarnya.”
JOG,
En-220415
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment