Sunday, March 1, 2015

Perempuan dan Pernikahanku

Penulis: Endar Wahyuni

Hanya tersisa aku dan dia di ruangan ini. Perempuan yang paling kusayangi setelah ibuku. Paras ayunya berkolaborasi manis dengan senyum yang selalu menenangkan. Memandanginya, berada di dekatnya adalah salah satu hal terindah yang pernah kumiliki. Aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya. Aku menyayanginya. Sunguh, aku benar-benar menyayanginya.

Tapi, kali ini ada yang berbeda. Sedikit rasa tak nyaman menyelinap. Aku mencemaskan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Aku tahu, jauh dalam hatinya pasti ada rasa sedih yang mendalam, yang tak pernah bisa diungkapkannya. Dan aku pun tahu, senyum yang mengembang siang tadi hanyalah payung bagi hati yang hampir kuyup terguyur pedih.

“Aku tahu ini sulit bagimu, juga bagiku. Tapi, sejujurnya aku pun tak ingin menyakitimu. Aku menyayangimu. Namun, di sisi lain aku pun sangat mencintainya.” Kutatap wajah sayu yang tengah menikmati senja lewat jendela ruangan.

“Harusnya memang tak seperti ini!”

Kuhela napas panjang. Bagaimana aku harus menjelaskan ini? Bahkan, ‘pabila aku berada di posisinya, aku belum tentu bisa setegar dia. Bisa jadi aku sudah ngamuk duluan. Membabi-buta, mengutuk Tuhan atas ketidakadilan ini. Tapi sekali lagi, dengan tenang dia menyaksikan pertunanganku tadi siang. Selengkung senyum menghiasi wajah riangnya---yang sebenarnya dibuat sedemikian rupa agar tampak bahagia.

“Terlalu egoiskah aku? Hingga aku tak memikirkan hati perempuan yang sangat kucintai?” Aku ikut menyimak wajah cakrawala yang kian menjingga. Apatah ini hari-hari terakhir yang bisa kunikmati bersamanya? Tinggal berapa hitungan jari lagi? Siang tadi keluarga tunanganku meminta untuk mempercepat pernikahan ini. Sialnya, Bapak dan Ibu menyetujuinya. Hey, tidakkah mereka memikirkan perempuan yang kini tengah bersamaku menghabiskan senja-senja terakhir ini?

“Kamu tidak egois. Tapi, mungkin akan lebih baik jika semua ini tidak terjadi. Atau kau bisa meminta mengundurkan tanggal pernikahanmu. Setidaknya sampai semua siap menerima luka ini.”

“Tapi, itu sama sekali tak bisa kulakukan. Aku takut menyinggung keluarganya.”

“Kalau begitu memang sudah jalannya seperti ini, harus ada yang tersakiti.”

“Tidak! Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Hanya saja.... Arggghhh...!” Aku menelungkupkan kedua telapak tangan tepat di wajah. Aku sama sekali tak mengerti dengan semua ini.

“Dek, kenapa sedih gitu? Takut, ya, nggak bisa melihat senja bersama Mbak lagi?” goda perempuan itu mengakhiri pergulatan batinku. “Mau menikah, kok, sedih. Nggak boleh gitu, dong,” lanjutnya seraya memelukku. Matahari telah mencapai peraduannya. Kini hanya kerlip lampu rumah-rumah dan jalanan yang terlihat dari jendela kamar kami.

“Maafkan aku, ya, Mbak,” ucapku lirih dan balas memeluknya.

“Nggak apa-apa. Jodoh di tangan Tuhan. Doain saja supaya Mbak cepet nyusul kamu,” jawabnya sambil tersenyum manis. Disekanya air mataku lalu dicubitnya hidung mungilku. Aku pasang tampang cemberut diiringi tawanya yang pecah. Tawa tempatnya bersembunyi sejak siang tadi.


JOG, En-010315


Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

No comments:

Post a Comment