Saat kau mulai berjalan, menapak jalan yang penuh beragam jejak, tak sempat kaugenggam lagi tanganku.
"Kita berjalan bersama, ya!"
Ah..., itu sudah berlalu, terakhir kutangkap kaubilang,"Semua akan baik-baik saja." Masih sama, bahkan lebih dari yang lalu, tersimpan banyak tanda tanya mungkin di otakku.
Mungkin kita berjalan sendiri-sendiri, asalkan kita masih satu langkah, mungkin akan kuikuti langkahmu. Tapi ini, rasanya kamu tak mau menoleh ke belakang, melihat aku yang masih terpaku, bingung memikirkan sikapmu.
Mengapa tak kauambil jalan yang masih bersih, yang belum tertinggal jejak jika kau memang tak mau kembali pada jejak-jejak kita lusa. Tapi mengapa kauambil jejaknya, yang jelas-jelas banyak duri 'tuk kuinjak. Duri-duri yang dulu berjatuhan menimpa langkah-langkah kecilku, lalu terpelanting ke bagian jalan lain, jatuh seakan mengiba dan menjadi sesosok petunjuk arah bagimu, walau arah mana pada akhirnya tak kautemui.
Andai kau tahu, dan mungkin kau pun mengerti, duri-duri itu masih tajam, bahkan luka bekas tajamnya lusa pun masih belum sembuh benar. Tapi kau tak pernah mau tahu. Dengan tegasnya kau pilih jejak-jejak itu. Dan dengan bangganya kau pamerkan pada semua yang melihat kita berjalan,"Ini jalan bagus yang kulalui."
Di mana aku, tak terlihatkah di sudut matamu sekalipun. Apakah karena aku yang tak yakin mengikuti langkah kakimu. Tak tahukah kau, masih ingin kuikuti, bahkan kusamai, tapi bukan di jejak itu.
Aku, masih membiarkanmu berada dalam arah jejak itu. Aku masih ada untukmu jika tiba-tiba duri itu terbangun dari tidur manisnya, tapi entah sampai kapan air mataku akan berhenti. Untuk sementara, atau selamanya, hingga tak pernah kusaksikan dirimu lagi dalam langkah kecilku....
"Kita berjalan bersama, ya!"
Ah..., itu sudah berlalu, terakhir kutangkap kaubilang,"Semua akan baik-baik saja." Masih sama, bahkan lebih dari yang lalu, tersimpan banyak tanda tanya mungkin di otakku.
Mungkin kita berjalan sendiri-sendiri, asalkan kita masih satu langkah, mungkin akan kuikuti langkahmu. Tapi ini, rasanya kamu tak mau menoleh ke belakang, melihat aku yang masih terpaku, bingung memikirkan sikapmu.
Mengapa tak kauambil jalan yang masih bersih, yang belum tertinggal jejak jika kau memang tak mau kembali pada jejak-jejak kita lusa. Tapi mengapa kauambil jejaknya, yang jelas-jelas banyak duri 'tuk kuinjak. Duri-duri yang dulu berjatuhan menimpa langkah-langkah kecilku, lalu terpelanting ke bagian jalan lain, jatuh seakan mengiba dan menjadi sesosok petunjuk arah bagimu, walau arah mana pada akhirnya tak kautemui.
Andai kau tahu, dan mungkin kau pun mengerti, duri-duri itu masih tajam, bahkan luka bekas tajamnya lusa pun masih belum sembuh benar. Tapi kau tak pernah mau tahu. Dengan tegasnya kau pilih jejak-jejak itu. Dan dengan bangganya kau pamerkan pada semua yang melihat kita berjalan,"Ini jalan bagus yang kulalui."
Di mana aku, tak terlihatkah di sudut matamu sekalipun. Apakah karena aku yang tak yakin mengikuti langkah kakimu. Tak tahukah kau, masih ingin kuikuti, bahkan kusamai, tapi bukan di jejak itu.
Aku, masih membiarkanmu berada dalam arah jejak itu. Aku masih ada untukmu jika tiba-tiba duri itu terbangun dari tidur manisnya, tapi entah sampai kapan air mataku akan berhenti. Untuk sementara, atau selamanya, hingga tak pernah kusaksikan dirimu lagi dalam langkah kecilku....
No comments:
Post a Comment