Malam kian larut, diluar sana hujan gerimis masih membasahi bumi, semilir angin meniup lembut memasuki lorong-lorong jendela, udara yang sejuk memanjakan para insan melelapkan tidur-tidur mereka.
Dinginnya
malam mampu membuat tulang rusuk menggigil meskipun tanpa pendingin
ruangan sekalipun. Tetapi suhu yang dingin itu tidak mampu membuat mata
Rina terpejam, ia masih duduk dipinggiran tempat tidur, disamping
suaminya yang sedari tadi telah lama mendengkur.
Malam
itu, Rina sulit sekali terpejam, ia merasa bersalah kepada suaminya,
karena meminta sesuatu diluar kesanggupan suaminya yang berpenghasilan
pas-pasan, tapi karena sindiran para tetangga, akhirnya ia beranikan
diri mengutarakan keinginannya dihadapan suaminya, meski ia tahu,
suaminya tidak akan mampu mewujudkannya saat ini.
Pikirannya
menerawang kembali pada kejadian beberapa hari lalu, siang itu, ia
bertemu dengan orangtua wali murid teman sekolah anaknya. Temannya itu
mengundang dirinya untuk hadir pada acara syukuran menempati rumah baru,
ya rumah baru yg menjadi impian tiap pasangan yg telah menikah.
Mendengar undangan itu hatinya tertegun, ia yg sudah menikah hampir
limabelas tahun masih menumpang di rumah orangtuanya, bukan tanpa
alasan tapi karena ia dan suaminya memang belum mampu mewujudkannya.
Setiap
kali ada teman lama yg menanyakan kabarnya pastilah pertanyaannya
selalu membuat hatinya gundah, "tinggal dimana sekarang jeng", ia hanya
bisa menjawab "masih ditempat yg lama" , begitulah seterusnya. Padahal
ingin sekali ia menjawab, "Sekarang kami tinggal di perumahan A atau di
kompleks B" tapi tidak bisa dan tidak tahu kapan ia bisa menjawab
seperti itu.
Belum lagi sindiran tetangga yg selalu
menyakitkan hatinya, betapa tidak, ia bersama suaminya masih tinggal
dirumah orangtuanya, padahal kedua adiknya sudah pergi dibawa suaminya
tinggal dirumah masing-masing. Memang dirinya tidak persis tinggal
dirumah orangtua, tetapi di bekas garasi dan kamar yg dibuat menjadi
rumah petakan dan dibatasi dengan tembok dan sedikit pagar untuk
menunjukan bahwa rumah itu terpisah tapi tetap saja dalam lingkup
halaman yg sama dan satu atap pula.
Padahal pernah ia
mendengar rumor dari neneknya almarhum bahwa malaikat mengirim rezeki
kepada manusia satu atap-satu atap, bukan satu keluarga-satu keluarga
dan rumor inilah yg selalu menggayuti benaknya senantiasa. Apa mungkin
rezekinya seret karena masih tinggal satu atap dengan orangtua hingga
ia sulit untuk memiliki rumah sendiri. Kadang ketika ia sedang kalut ia
sangat mempercayai rumor itu, tapi ketika ia sadar bahwa rezeki allah
yg mengatur ia pun hanya bisa menghela nafas dan istighfar dalam-dalam.
Sore
itu ia membulatkan tekad untuk meminta haknya kepada suaminya, ia tak
lagi menunggu suaminya berganti pakaian sepulang mengajar di sebuah
sekolah swasta. Ketika suaminya tiba langsung ia berondong dengan
pertanyaan dan komplain tentang kehidupan rumahtangganya yg dirasakan
belum layak, ia tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa ia iri dengan
kedua adiknya, ia juga membandingkan penghasilan suaminya dengan
penghasilan suami adiknya, kehidupan materi dirinya dan kehidupan materi
adiknya.
Sang suami yang kaget karena tidak siap dengan
pertanyaan bertubi-tubi hanya diam membisu, hanya sudut matanya terlihat
bening membulat yg makin lama makin membesar. Jujur dalam hati sang
suami memang ia belum mampu memberikan kehidupan yg layak seperti yg
diminta istrinya, ia pasrahkan sang istri mengeluarkan emosi dan
amarahnya tanpa membantah satu patah kata pun.
Ia hanya
bisa menunduk tak mampu menahan tajam mata istrinya, ia sadar bahwa itu
memang tanggungjawabnya memberikan nafkah, sandang serta papan
merupakan tugas dirinya tapi apa mau dikata, ia belum bisa mewujudkan
semua itu. Di helanya nafas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan lagi
secara perlahan. Perlahan buliran-buliran di ekormatanya mulai
menggumpal, ia menangis bukan karena meratapi nasibnya, tapi karena
sedih melihat istrinya menderita karena ketidakberdayaannya.
Betapa
tidak, ia sangat mencintai istrinya yg dinikahinya limabelas tahun
lalu, dan selama itu istrinya tetap sabar atas kekurangan dirinya, tetap
tersenyum meski lapar dan dahaga kerap menerpa keluarga mereka. Kadang
ia malu ketika ibu mertuanya membawa lauk pauk untuk dirinya, istrinya
dan anak-anaknya.
Semasa ayah mertuanya masih hidup, ia
masih bisa menahan malu, karena ayah mertuanya mempunyai penghasilan
dari pensiunan tentara, dengan uang pensiun itu sang kakek kerap
mengajak cucunya pergi jalan-jalan ke minimarket di ujungjalan dan
pulang dengan membawa sekantong makanan kesukaan anaknya. Tapi kini,
sang ibu mertua hanya mengandalkan sisa pensiun almarhum suaminya dan ia
tidak tega jika ibu mertuanya itu memberi makanan kepada keluarganya.
Ia
menangis karena tidak tega melihat istrinya menderita secara batin
akibat sindiran para tetangga yg kerap datang menyinggungnya. Ia merasa
bersalah tak mampu memberikan kebahagiaan yg sudah patut diterima
istrinya. Kekuatan cinta istrinya kepada dirinya selama bertahun-tahun
itulah yg membuat hatinya semakin miris, betapa begitu tega dirinya
membiarkan sang istri menderita, padahal pengorbanan yg telah dilakukan
kepadanya sangat begitu besar.
Dulu ketika ia hendak
melamar istrinya, sebenarnya ada pemuda kaya yg akan melamar istrinya,
tapi sang istri menolak. Istrinya memilih dirinya karena pemahaman
agamanya lebih bagus dari pada pemahaman agama pemuda kaya itu. Dan
itulah yang membuat istrinya bangga menikah dengannya, karena ia yakin
cinta dan kesalehan akan membawa kepada kebahagiaan abadi.
Mengingat
hal itu hati sang suami bagai diiris-iris sembilu, ia yg dibanggakan
istrinya ternyata tidak mampu membahagiakan balik istrinya. Ia hanya
bisa berharap kepada rabb pencipta semesta, untuk memberikan kekuatan
kepada dirinya dan diri istrinya untuk tetap tegar menghadapi kehidupan
ini. Tapi sebagai manusia, kesabaran menjadi terbatas ketika waktu yg
berlalu ternyata melewati batas toleransi.
Apalagi
ditambah hasutan syetan yg senantiasa memanas-manasi keadaan. Ketika
orang lain bisa, mengapa dirinya tidak bisa, itulah perkataan terakhir
Rina kepada suaminya saat sebelum meninggalkan dirinya dan pergi masuk
kamar untuk menangis tersedu-sedu. Tinggal sang suami duduk lesu tak
mengerti harus berkata apa, dalam rasa bersalah yg mendalam, dalam rasa
iba kepada istrinya yg merasuk kedalam buluh-buluh nadi lalu
mencengkrap kuat ototjantungnya. Saat itu kehidupan dirasakannya seperti
berhenti berdetak, sementara azan maghrib sayup-sayup mengalun,
mengabarkan dunia akan waktu sholat telah tiba.
-o0o-
Malam
pun kian larut, Rina masih memandang wajah lelah suaminya yg telah
bekerja seharian, ia tahu suaminya pasti belum makan karena marahnya
sore tadi. Sang suami pasti enggan meminta disediakan makan malam
untuknya melihat ia dalan keadaan marah seperti itu. Setelah sholat
isya, sang suami lebih memilih tidur untuk menenangkan fikiran.
Ia
tidak perduli perutnya bergejolak karena lapar. Dalam keheningan, Rina
memandangi guratan-guratan diwajah suaminya, guratan yg membuat
wajahnya terlihat lebih tua dari usia seharusnya. Rina merasa bersalah,
mengapa ia menyakiti suami yg tidak pernah menyakiti dirinya
sedikitpun selama perkawinan mereka. Ia seakan lupa bahwa dulu ia
memilih suaminya bukan karena hartanya, tapi karena kekayaan hati
suaminya.
Dan ia sangat bahagia akan hal itu. Tapi kini
mengapa ia harus menggugat, meskipun gugatannya itu adalah gugatan
wajar, ketika seorang istri menuntut hak kepada suaminya untuk
mendapatkan tempat tinggal yg layak. Tapi bagi dirinya, hal itu sudah
mencederai janji tulus kepada suaminya. Ia yang selama ini tetap tegar
dan sabar ternyata bisa lepas kendali hanya karena sindiran tetangganya.
Seorang
suami yg paling baik, yg tidak pernah memarahinya, yg tidak pernah
menuntutnya, yg tidak pernah menyakitinya seujung kukupun kini terluka
oleh lidahnya. Ia yg sangat sabar dan telaten, penyayang dan santun, yg
selalu mengajarkan tentang kebaikan dan keutamaan wanita solehah
kepada dirinya kini harus tersudut oleh ucapan kerasnya. Rina begitu
sangat menyesal sekali.
Dipandangnya wajah lelap suaminya
berkali-kali, diusapnya keringat yg mengalir dikening suaminya.
Melihat pemandangan yg menyentuh pada raut muka suaminya,membuat mata
Rina berkaca-kaca, nafasnyapun mulai sesenggukan, perlahan airmatanya
menetes, butiran demi butiran mengalir dan jatuh menimpa kelopak mata
sang suami. Sang suami kaget, ia terbangun dan perlahan membuka matanya
lantas berkata.
"Ada apa sayang, mengapa engkau
bangunkan aku dengan airmatamu, biasanya engkau membangunkan aku dengan
kecupan didahiku". Bukannya menjawab, tangisan Rina malah semakin
pecah, ia menangis tersedu-sedu dibahu suaminya. Suaminya yg merasa
tidak enak karena merasa Rina belum puas atas amarahnya tadi sore kini
memberanikan diri untuk berkata.
"Istriku sayang, kali
ini aku mohon maaf kepadamu lagi, dan aku tidak tahu, sudah berapa kali
aku meminta maaf kepadamu atas kelemahan diriku ini, akupun sudah malu
karena seringnya aku meminta maaf kepadamu, jika engkau tidak puas
kepadaku. Aku pasrahkab diriku atas keputusan yg engkau berikan, apapun
keputusanmu itu."
Sayangku, izinkan aku membela diri
atas kelemahanku sebelum engkau memvonis aku, izinkan aku berbicara
tentang hakikat rezeki sebelum engkau pergi dari ku, izinkan aku bicara
atas nama cinta dan kasih sayang keluarga kita. Sayangku, aku tahu
engkau menikahiku bukan karena melihat latarbelakang diriku yg papa,
engkau memilih aku atas dasar keimanan yg aku punya, dan memang hanya
itu harta yg aku punya ketika aku melamarmu.
Itupula yang
membuat aku bangga kepadamu melebihi kebanggaan apapun didunia ini.
Aku tahu sebagai istri, kamu ingin seperti adik-adikmu atau seperti
wanita lain, memiliki rumah sendiri meskipun kecil, memiliki "rumahku
syurgaku" seperti idaman para remaja putri ketika hendak menikah.
Memiliki taman kecil dihalaman depan, atau kolam ikan dihalaman
belakang, memiliki hiasan kaligrapi diruang tamu, atau pancuran shower
dikamar mandi. Bisa berksperimen membuat kue untuk anak-anak kita
didapur yg mungil, atau sekedar berteduh di gazebo kecil di depan rumah.
Semua
itu adalah wajar bagi seorang istri. Semua itu adalah kesempurnaan
dalam hidup dan kesenangan dalam rumah tangga. Tapi istriku, aku ingin
engkau melihatnya dari sisi lain. Ketika adik-adikmu mempunyai
kebahagiaan dan kebanggaan karena memiliki rumah sendiri, kamu pun
memiliki kebanggaan dan kebahagiaan juga.
Karena Tuhan
menakdirkan kita masih tetap disini, disamping orangtua kita saat
mereka memasuki usia senja, ketika orang lain sulit untuk berbakti
kepada orangtua, kita justru menerima anugerah itu, bakti kita kepada
mereka, merawatnya ketika sakit, menemaninya ketika sepi, menghiburnya
ketika sedih dan membantunya dalam segenap aktifitas sehingga ia bisa
melewati masa tuanya dengan tenang tanpa beban bukankah menjadi rezeki
tersendiri bagi kita, rezeki berupa pahala yang akan diberikan allah
kelak karena bakti kita kepada orangtua.
Mungkin dari
sisi materi, orangtua lebih bangga kepada adik-adikmu, tetapi dari sisi
pengabdian dan kasih sayang kepada orangtua, justru kamulah yg
dibanggakannya, berapa kali ibu memujimu dihadapanku karena
ketelatenanmu merawatnya. Bukankah itu rezeki yg luar biasa istriku?
Ketika
adikmu memiliki dua kebahagiaan yakni kebahagiaan karena memiliki
rumah sendiri dan kebahagiaan karena kehidupan yang layak, kamupun
memiliki dua kebahagiaan pula, kebahagiaan yg belum tentu dimiliki oleh
seorang istri sekaligus, yakni kebahagiaan karena keridhaan orangtua
atas baktimu, dan kebahagiaan karena ridha suamimu atas pengorbanan dan
kesetiaanmu. Bukankah dua keridhaan itu yg bisa mengangkat derajatmu
menuju syurga-NYA".
Rina tak bisa bicara, tenggorokannya
tercekat, betapa suaminya telah berhasil merobohkan tiang kebodohannya,
ia telah berhasil membukakan mata batinnya, keluguannya memahami
kebahagiaan seolah lenyap, digantikan pencerahan akan kebahagiaan
sesungguhnya. Dalam bisik ia bertanya kepada suaminya, "apakah kau
ridha kepadaku sayang?" Sang suami pun tersenyum sambil berkata "Ya,
aku ridha kepadamu, atas semua bakti yg kamu lakukan selama ini dan aku
pun berharap, engkaupun ridha kepadaku"
Kuharap dengan
dua keridhaan yang kau miliki, engkau berdoa kepada Allah untuk
memuluskan langkah kita kedepan, mengabulkan semua impian kita dan
meneguhkan langkah-langkah kaki kita agar kuat menahan godaan". Rina pun
bergumam "amin" seraya berbisik hangat ia berkata" maafkan aku sayang,
akupun ridha kepadamu..."
Angin sepoi sejuk bertiup
perlahan, memasuki sela-sela pintu dan jendela. Udara dingin yg
mengkristal tak mampu membekukan dua hati manusia yang saling mencintai
karena Allah, kehangatan yg hadir dari para hati yg saling ridha
mendamaikan kehidupan dikamar yg sempit itu, tetapi sempitnya kamar
tidak membuat hati mereka ikut sempit, dengan ridha di hati justru
meluaskan dan melapangkan kebahagiaan mereka, seluas samudera yang tak
bertepi...
No comments:
Post a Comment