Cinta itu butuh kesabaran. Sampai di
manakah kita harus bersabar menanti cinta kita?
Hari itu, aku dengannya berkomitmen
untuk menjaga cinta kita. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia. Pernikahan
kami sederhana namun meriah. Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu
itu. Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan, dan
mapan pula. Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya. Kami akan
berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu.
Dan setelah menikah, aku mengajaknya
untuk umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengannya, dan dia juga sangat
memanjakan aku. Terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya padaku. Banyak
orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali
bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi
suami istri. Tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Walaupun kami hanya hidup
berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang
malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya
dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi
baginya. Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku. Ia mengaggap Allah belum
mempercayai kami untuk menjaga titipan-Nya.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal
kami menikah, ibu dan adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan
yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu
dari suamiku. Di depan suamiku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi di belakang
suamiku, aku dihina-hina oleh mereka.
Pernah suatu ketika satu tahun usia
pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah
suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat di rumah sakit pada saat dia
belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang dan malam
sambil kubacakan ayat-ayat suci Al–Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah
sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosia. Aku sibuk mengurus suamiku yang
sakit karena kecelakaan.
Namun ketika aku kembali ke rumah sakit
setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya,
dan teman-teman suamiku. Dan di saat itu juga aku melihat ada seorang wanita
yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur
suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah
sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh
sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu
sambil mengatakan, "Assalammualaikum….”
Mereka menjawab salamku. Aku berdiam
sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh
manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah lima hari matanya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku
untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya
sambil berkata, "Assalammu'alaikum….”
Ia pun menjawab salamku dengan suaranya
yang lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu, ibunya berbicara denganku. "Fis,
kenalkan ini Desi, teman Fikri.”
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa
teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat
akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya
juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, aku tak banyak bicara di ruangan
tersebut, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan dan mengobati
luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba Dian---adik
iparku---mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun
mengijinkannya.
Tapi, ketika di luar adik iparku
berkata, "Lebih baik kau pulang saja, ada kami yang menjaga abang di sini.
Kau istirahat saja."
Anehnya, aku tak diperbolehkan
berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan
karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa
aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi, tiba-tiba ibu mertuaku
datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya, dia akan
memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh
suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak,
suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah
sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah
diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya
bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
***
Hari itu aku menangis tanpa sebab, yang
ada di benakku aku takut kehilangannya. Aku takut cintanya dibagi dengan yang
lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan
pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang. Ia baru aja
selesai sarapan. Ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat
ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, "Ada apa kamu
memanggilku?"
"Besok aku akan menjenguk
keluargaku di Sabang."
"Iya, Sayang…, aku tahu, aku sudah
mengemasi barang-barang kamu di travel
bag dan kamu sudah memegang tiket, bukan?"
"Ya, tapi aku akan lama di sana,
sekitar tiga minggu. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku
sejak kita menikah. Aku akan pulang dengan Mama,” jawabnya tegas.
"Mengapa baru sekarang bicara? Aku
pikir hanya seminggu saja kamu di sana,” tanyaku balik kepadanya penuh dengan
rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana
kepulangannya itu. Padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat
untuknya.
"Mama minta aku yang menemaninya
saat pulang nanti,” jawabnya tegas.
"Sekarang aku ingin seharian
dengan kamu karena nanti kita tiga minggu tidak bertemu. Ya, kan?" Ia
melanjutkan lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan
keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang
penuh dengan rasa sayang dan cinta. Walau terkadang ia bersikap kurang adil
terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku. Tapi
karena keluarganya tidak menyukaiku. Hanya karena mereka cemburu padaku karena
suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja
yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga
kami.
Karena ini acara sakral bagi
keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun
tetap tak akan dipedulikan oleh keluarganya---datang ataupun tidak. Tidak hadir
justru membuat mereka sangat senang. Dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga
ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku
menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang. Ia
menatapku dan menghapus air mata yang jatuh di pipiku. Lalu aku peluk erat
dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi
aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan
ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama
ini. Karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih
karena aku sendirian dan tidak memiliki teman.
Sampai keesokan harinya aku terus
menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini. Perasaanku
tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku.
Dia pasti akan selalu menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa
sangat tidak nyaman. Aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan
sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke
Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh,
komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali
seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit di rahimku,
sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adikku
yang kebetulan menemanik. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim
stadium tiga.
Aku menangis. Apa yang bisa aku
banggakan lagi?
Mertuaku akan semakin menghinaku. Suamiku
yang malang, yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku, namun aku
tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen suamiku. Aku selalu menunggunya
pulang dan bertanya-tanya, "Kapankah ia segera pulang?"
Sementara suamiku di sana, aku tidak
tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan
menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku. Lebih baik aku
tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia
berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku
akan cerita padanya.
Setiap hari aku menanti suamiku pulang,
hari demi hari aku hitung. Sudah tiga minggu suamiku di Sabang. Malam itu
ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada pesan
masuk.
Kubuka ponselku, ternyata dari suamiku.
Ia menulis, "Aku sudah beli tiket untuk pulang. Aku pulangnya satu hari
lagi. Nanti kukabari lagi.”
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku
ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang kutunggu
pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun
berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku
pulang. Nanti aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk
akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu
untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya ke depan
teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki
dan kucuci kedua kakinya. Aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah
kami. Setelah itu akupun berdiri, langsung mencium tangannya. Tapi apa
reaksinya?
Masya-Allah, ia tidak mencium keningku.
Ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa
bertanya kabarku.
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek.
Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan
sepertiga malam. Mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha
Pencipta.
Biasanya kami selalu berjamaah. Tapi
karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya
mengelus wajahnya dan mencium keningnya. Aku lalu sholat tahajud 8 rakaat dan
witir 3 rakaat.
***
Aku mendengar suara mobilnya, aku
terbangun lalu melihatnya dari balkon kamar kami. Ia bersiap-siap untuk pergi. Aku
memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan berlari
dari atas ke bawah tanpa memerdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk
mengejarnya. Tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan
suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja. Firasatku
mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumah mertuaku
dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya. Aku bercerita dan aku bertanya
apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, "Loe
pikir aja sendiri!!!.” Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam
kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya.
Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang
pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami
hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku
dari mana dan mengapa pulang terlambat. Ia bertanya dengan nada keras.
Suamiku telah berubah. Bahkan yang
membuatku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu. Tapi aku selalu
ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para
istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdoa semoga suamiku sadar akan
prilakunya.
***
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung
berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini. Kami
seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah
sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya dan
menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik
dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum.
Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak
tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah, aku punya penghasilan
sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji. Jadi aku tak perlu meminta
uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh, suami yang dulu aku puja dan
aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku. Setiap aku bertanya,
ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri.
Tiba-tiba saja malam itu setelah makan
malam usai, suamiku memanggilku.
"Ya, ada apa, Yah?" sahutku
dengan memanggil nama kesayangannya, ‘Ayah’.
"Lusa kita siap-siap ke Sabang,
ya." jawabnya tegas.
"Ada apa?
Mengapa?"
Kau ikut saja, jangan
banyak tanya!"
Astaghfirullah. Suamiku
yang dulu lembut tiba-tiba menjadi kasar. Dia membentakku. Sehingga tak ada
lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Lalu aku pun
bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis. Sedih
karena suamiku kini tak aku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima
tahun kami menikah. Sudah dua tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Kulihat
kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami,
sekarang menjadi dingin. Lebih dingin dari batu es. Aku menangis dengan
kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan
wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang.
Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya
bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam
kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang. Aku masih
merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga
besarnya juga telah berkumpul di sana, termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak
tahu ada acara apa ini.
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar
kami. Suamiku tak betah di dalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar
bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan
ingin memasukkannya ke dalam lemari tua, tiba-tiba Tante Lia---tante yang
sangat baik padaku---memanggilku untuk bersegera berkumpul di ruang tengah. Aku
pun menuju ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu---yang
tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk di samping suamiku,
dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba
saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya,
membuka pembicaraan.
"Baiklah, karena kalian telah
berkumpul, Nenek ingin bicara dengan kau, Fisha". Neneknya berbicara
sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
"Ada apa ya Nek?" sahutku
dengan penuh tanya.
"Kau telah bergabung dengan
keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda
kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!"
Aku menangis. Untuk inikah aku diundang
kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
"Sebenarnya kami sudah punya calon
untuk Fikri, dari dulu. Sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang
keras kepala, tak mau diatur. Dan akhirnya menikahlah ia dengan kau,” lanjut neneknya
berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat
wajah suamiku yang kosong matanya.
"Dan aku dengar dari ibu mertuamu
kau pun sudah berkenalan dengannya.” Neneknya masih melanjutkan pembicaraan
itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam saja. Aku lihat air matanya. Ingin aku
peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian
untuk itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang
lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang
kemudian berkata, "Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?"
MasyaAllah. Kuatkan hati ini. Aku ingin
jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa
keluarganya bersikap seperti ini terhadapku. Aku selalu munutupi masalah ini
dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu. Mereka mengira aku sangat
bahagia dua tahun belakangan ini.
"Fish, jawab!" Dengan tegas
Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku.
Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
"Walaupun aku
tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya
melalui bathiniah. Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut
baik seorang wanita baru di rumah kami."
Itu yang aku jawab, dengan kata lain
aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan
tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku,
"Ayah, siapakah yang akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, Yah?"
Suamiku menjawab, "Desi."
Akupun langsung menarik napas dan
berbicara, "Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan
dalam pernikahan ini, Nek?"
Ayah mertuaku menjawab,
"Pernikahannya dia minggu lagi."
"Baiklah kalau begitu saya akan
menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan
besok.” Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi. Air mata ini akan
turun. Aku berjalan sangat cepat, membuka pintu kamar dan langsung duduk di
tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri di sini. Tak kuat rasanya
menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku.
Apakah karena ini suamiku menjadi orang
yang asing selama 2 tahun belakangan?
Aku berjalan menuju ke meja rias,
kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, "Sudah tidak
cantikkah aku ini?"
Kuambil sisir. Kusisiri rambutku yang
setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik
lagi. Rambutku sudah hampir habis. Kepalaku sudah botak di bagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ternyata
suamiku yang dating. Ia berdiri di belakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku
bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku
mulai pembicaraan, "Terima kasih, Ayah, kamu memberi sahabat kepadaku.
Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti. Iya, kan?"
Suamiku mengangguk sambil melihat
kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok.
Dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya mengapa
ia sangat cuek dan sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “Sudah malam,
kita istirahat, yuk!"
"Aku sholat isya dulu, baru tidur.”
Dalam sholat dan dalam tidur aku
menangis. Kuhitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku
pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang
Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti
dulu, yang sangat memanjakanku atas rasa sayang dan cintanya itu.
***
Malam sebelum hari pernikahan suamiku,
aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Aku menulis saat-saat terakhirku melihat
suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis
melihat suamiku yang sedang tidur pulas. Apa salahku? Sampai ia berlaku sekejam
itu kepadaku. Aku save di My Document yang bertitle "Aku
Mencintaimu Suamiku”.
Hari pernikahan telah tiba. Aku telah
siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Melihat
matahari. Mungkin aku tak kan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat
lama. Suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara
padaku.
"Apakah kamu sudah siap?"
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku
sambil berkata, "Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa
ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku
dulu. Lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin, bacakan doa di ubun-ubunnya
sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu….” Ucapanku
terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis
meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab, "Lalu
apa, Bunda?"
Aku kaget mendengar kata itu. Yang tadinya
aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.
"Bisa kamu ulangi apa yang kamu
ucapkan barusan?" pintaku untuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah
mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, "Baik,
Bunda. Akan Ayah ulangi. Lalu apa, Bunda?" Sambil ia mengelus wajah dan
menghapus air mataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku
hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata,
"Kita lihat saja nanti, ya.” Dia memelukku dan berkata, "Bunda
adalah wanita yang paling kuat yang Ayah temui selain Mama.”
Kemudian ia mencium keningku, aku
langsung memeluknya erat dan berkata, "Ayah, apakah ini akan segera
berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku
kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku
kesepian, Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tahu, bahwa aku tidak pernah
berzina. Dulu, waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya,
setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang di hadapanku itu
adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah."
Aku langsung bersujud di kakinya dan
muncium kaki imamku sambil berkata, "Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu
susah".
Saat itu juga, diangkatnya badanku. Ia
hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, dua tahun aku
menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang
tidak beres denganku dan ia bertanya, "Bunda baik-baik saja, kan?"
Aku pun menjawab, "Bisa memeluk
dan melihat Ayah kembali seperti dulu itu sudah membuatku baik. Aku hanya tak
bisa bicara sekarang.”
Karena dia akan menikah. Aku tak mau
membuat dia khawatir. Dia harus khusyuk menjalani acara prosesi akad nikah
tersebut.
***
Setelah tiba di masjid, ijab-qabul pun
dimulai. Aku duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan
dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan,
"Ayah jangan!"
Jantung ini berdebar kencang saat
mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas
panjang. Tante Lia memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati
ini. Ya, aku kuat.
Tak sanggup aku melihat mereka duduk
bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba
melihatku. Mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh. Mungkin melihat wajahku
yang selalu tersenyum.
Sampai di rumah, suamiku langsung masuk
ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan
perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu, Desi
disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang dimusuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana
bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak
tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin
sholat lail aku keluar untuk berwudhu. Aku melihat ada lelaki yang mirip
suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati. MasyaAllah. Suamiku tak tidur
dengan wanita itu, ia ternyata tidur di sofa. Aku duduk di sofa itu sambil mengelus
wajahnya yang lelah. Tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
"Kamu datang ke sini, aku pun
tahu,” katanya. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail
ia berkata, "Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena
egoku. Besok kita pulang ke Jakarta. Biar Desi pulang dengan mama, papa, dan
juga adik-adikku."
Aku menatapnya dengan penuh keheranan.
Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat
erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi.
Ya Allah, apakah
Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena
aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi, masih bisakah engkau ijinkan
aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun
ini.
Suamiku berbisik, "Bunda kok
kurus?"
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya
masih bisa kurasakan. Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak tidur dengan
Desi?"
"Aku kangen sama Bunda, aku tak
mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois."
Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata, "Bun, Ayah
minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau
bunda tidak tulus mencintai ayah. Bunda seperti mengejar sesuatu, seperti
mengejar harta ayah. Dan satu lagi, Ayah pernah melihat SMS bunda dengan mantan
pacar Bunda di mana isinya kalau bunda gak mau berbuat ‘seperti itu’ dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip. Ayah
ingin ngomong tapi takut Bunda tersinggung dan berpikir kalau Bunda pernah
tidur dengannya sebelum bertemu Ayah. Terus Ayah dimarahi oleh keluarga karena terlalu
memanjakan Bunda"
Hati ini sakit ketika difitnah oleh
suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan
keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan
seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, "Aku sudah
ceritakan itu, kan, Yah. Aku tidak pernah berzina dan aku mencintaimu setulus
hatiku. Jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal
banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu it. Jika aku hanya mengejar
hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita
mencintaimu."
Entah aku harus bahagia atau aku harus
sedih karena ‘sahabatku’ sendirian di
kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan
berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati
dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya...
Ketika aku ingin terbangun untuk
mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali. Aku mengalami
pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun
dilarikan ke rumah sakit.
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir
suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah
suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Dan
mengatakan, "Bunda, Ayah minta maaf...."
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu.
Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara
yang lirih, "Yah, Bunda ingin pulang. Bunda ingin bertemu kedua orang tua
bunda, anterin bunda kesana, ya, Yah...."
"Ayah jangan
berubah lagi, ya. Janji, ya, Yah.... Bunda sayang banget sama Ayah,” lanjutku.
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat
sakit, sakitnya semakin ke atas. Kakiku sudah tak bisa bergerak lagi. Aku tak
kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air
mata. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan
kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya
pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya
dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku
bahagia bersuamikan dia. Dia adalah napasku.
Untuk Ibu mertuaku, "Maafkan
aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu sampai aku hidup di dalam hatinya.
Ketahuila, Ma, dari dulu aku selalu berdoa agar Mama merestui hubungan kami.
Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku, apa engkau punya buktinya, Ma?
Mengapa engkau sangat cemburu padaku, Ma? Fikri tetap milikmu, Ma. Aku tak
pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa
yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau
sangat baik tetapi denganku, menantumu, kau bersikap sebaliknya."
---selesai---
No comments:
Post a Comment