Thursday, February 21, 2013

Untuk Beliau yang Telah Berpulang ke Pangkuan Rahmatullah

Ini seperti mimpi, Yah...! Malam itu, ketika aku masih tenggelam dalam keyboard dan layar monitor di depanku. Tiba-tiba ponselku berbunyi singkat. Kuintip ada namamu tertera di layar, dengan malas kuraih ponselku.

"Pulang gak malam ini?" Satu pesan singkat darimu. Senyum simpul mengiringi balasanku, "tidak, besok masuk pagi." Sudah rindukah 'kau pada anak satu-satumu ini, Yah? Sepertinya sudah sepekan lebih memang kita tak berjumpa, apalagi bercanda sampai buat bunda tertawa.

Kuletakkan lagi ponselku, dan mataku kembali menatap serius pada angka-angka dan huruf-huruf yang menjadi satu di layarku. Selang beberapa menit, baru kusadar tak kudapat balasan darimu lagi, Yah. Biasanya, pasti kaujawab meski hanya dengan satu huruf, "Y". Ayah, biarpun ini pesan singkat bayarnya nggak per huruf kan...? :)

Tapi, kali ini tak kudapat satu huruf pun. Mungkin kau sudah terlelap, beberapa hari ini cukup melelahkanmu. Dan aku pun kembali menghabiskan sisa waktuku di depan monitor dengan segudang user dan pasword. Ya..., beberapa menit kedepan tugasku sementara selesai. Dan kasur di kos sudah menantiku bergulat dengan selimut, bantal dan gulingku tentunya.

Syair "For The Rest Of my Life" milik Maher Zain mengalun semakin keras. Segera kuraih lagi ponselku yang sejak tadi terdiam menantiku. Namamu kembali tertera, Yah. Kali ini dalam sebuah panggilan. "Apa mungkin balasanku tadi tidak masuk sehingga beliau menelponku untuk memastikan?" Aku bertanya sendiri dalam hatiku.

"Assalamu'alaikum, Yah...." sapaku dengan suara serak dan mata yang tinggal 5 watt.

 Terdengar suara dengan nada hati-hati dari balik telepon. Sejenak aku tak bisa berpikir apa-apa. Kututup teleponku, sambil menahan semua air mata yang hampir jatuh. Tapi, ternyata aku tak kuasa pula menahannya. Butir-butir bening itu terus berjatuhan.


Ayah..., ini mimpi, kan, Yah...?
Ingin kutanyakan pada bunda...?
Tapi, kalau ini nyata pasti bunda pun tak 'kan sanggup menyampaikan ini.

Lalu, dalam hening malamku, kutemui kamar kecilku. Dalam kesendirianku, aku tahu di sana isak tangis dan air mata itu tertumpah. Dan aku..., aku hanya bisa terdiam dalam kamar kecilku bersama rasa kecewa, menyesal, kehilangan dan air mata yang tertumpah jadi satu.

Aku berharap esok segera datang. Tapi, kenyataannya aku tak bisa memulaskan tidurku. Ada bunda yang terus kucemaskan, aku tak tahu bagaimana keadaan beliau di sana. Aku hanya berharap beliau kuat dan tabah menghadapi kenyataan ini. Walau aku tahu, di sana banyak sanak saudara, handai taulan, dan tentunya engkau, Yah, yang akan menguatkan Bunda.

Sejenak 'ku terbenam dalam tangisku. Sayup-sayup kudengar suara adzan. Kubuka mataku, sembab. Air mata yang mengering masih melukiskan kisah semalam. Dan kutemui airmata yang kembali menggenang di pelupuk mataku. Sebelumnya, tak pernah kurasakan kehilangan seperti ini. Bahkan kepalaku sudah pening menahan semua sesak semalaman.

Bunyi SMS ponselku terdengar di subuh buta ini.

"Nduk, bangun, terus pulang, di jalan hati-hati."

Aku menangis sesak, pesan dari bunda yang membuatku semakin tak kuasa menahan sedihku. Tapi aku bersyukur, berarti bunda sudah lebih baikan dari semalam.

"Nggih, aku shalat subuh dulu, ya. Nanti langsung pulang", balasku.

Segera kuambil air wudlu dan menunaikan subuhku, tapi tak ada doa panjang seperti biasanya. Hanya ada nama almarhum, Bunda, Ayah, dan segenap keluarga yang ditinggalkan.

Kutinggalkan suasana kos yang masih sepi. Masih dalam tangis yang terus menetes di sepanjang satu jam perjalanan pulangku. Tapi, aku cukup yakin bahwa kondisiku lebih baik dari semalam, walau dengan jelas terlihat mataku bengkak dan memerah.

--

Aku sampai di rumah duka, semua keluarga sudah menunggu. Ada bendera putih berkibar di ujung jalan, dan ada genangan air mata yang siap menetes dari pelupuk mataku. Aku harus tampak kuat dan tegar. Kulanjutkan langkahku.

Perlahan aku melangkah masuk dalam sebuah ruangan di mana almarhum disemayamkan sementara. Semua mata tertuju padaku. Perlahan aku mendekat. Sekejap mereka memelukku, menghujaniku dengan tangis. Dan aku pun tak lagi sanggup menahan airmata yang sudah bendung dari tadi. Semuanya pecah seketika dalam duka dan luka ini.

--

"Nduk, tolong temui tamu terakhir kakekmu!" pinta nenekku.
Aku tak sanggup menatap mata beliau, karena butir-butir ini siap jatuh di pangkuanku. Dan aku tahu, beliaupun sebenarnya masih mencoba untuk tegar.

--

Sampai jenazah akan diberangkatkan di tempat peristirahatan terakhirnya, ada kesedihan yang mendalam di setiap sosok di sekelilingku, terutama Bunda dan Nenek yang tak henti menangis sejak pagi tadi, bahkan malam tadi. Dalam doa bersama ini..

"Kakek, kuhantarkan ragamu untuk yang terakhir kalinya di dunia ini, semoga kautenang di alam sana nanti. Kakek, maaf harus ada tangis kami kala mengiringi kepergianmu. Semua masih melekat jelas dalam ingatan kami tentang sosokmu yang begitu indah di mata kami. Tak 'kan terlupa, Kek. Akan terus kami ingat dan terus membersamai ingatan kami. Dan kau akan terus hidup di hati kami. Terima kasih untuk kebaikanmu pada kami. Untuk pelajaran, nasehat dan petuah yang kauberikan. Terima kasih untuk kasih sayang dan tanggung jawab yang tiada henti. Terima kasih untuk cucuran keringatmu yang menguatkan kami untuk terus menjalani suka duka dunia ini dalam rasa syukur. Bahagia di sana, Kek! Kami tahu, pasti kami akan sangat merindukanmu. Terima kasih untuk semuanya, Kek. Akan kami nikmati kerinduan kami dalam ingatan buaian kasih sayangmu"

--

Telah berpulang beliau ke pangkuan Rahmatullah mendahului kami. Meninggalkan kami dalan luka dan duka. Dan sejuta kenangan indah bersama beliau.
Beliau yang telah banyak membantuku hingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini....

Thank's grandpa, we will always love you and miss you.. :')
Thanks for everything.. :')

No comments:

Post a Comment