Kopi malamku sudah terlupakan.
Apalagi yang harus kuharapkan. Menyruput kopi itu sedekit demi sedikit lantas
habis tanpa ketemui manis dalam pahitnya. Atau membiarkannya dingin dalam
genangan yang bergeming. Bahkan kopi ini pun tak dapat menjawab satupun
pertanyaanku. Segala kegusaranku tentang
apa dan mengapa, tentang apa dan bagaimana, tentang semua yang harus diakhiri
tanda tanya.
Katanya aku harus merasakan
pahitnya dulu supaya aku dapat menikmati manisnya. Tapi, kenyataannya lidahku
terlalu kelu untuk mencicipinya lagi, mencicipi pahit yang tiada ujungnya.
Mungkin ini tanda keputus-asaanku. Ah ..., cengeng sekali aku. Baru satu dua
langkah sudah menyerah. Tapi mengapa kata-kataku tidak pernah bisa mengalir
mulus?
Dalam penantian rasa manis, entah
aku masih setia ataumenyerah begitu saja. Lalu apa selanjutnya? Lagi-lagi harus
ada kata tanya yang semakin ruwet untuk kucampurkan dengan kopiku, menambah
runyamnya rasa pahit bak tak tersentuh gula sedikitpun. Mungkin hanya ada
sedikit pemanis yang tercampur, yang akhirnya hanya akan menyisakan rasa pahit,
getir.
Apa memang aku bukan penggemar
kopi? Bukan penikmat kopi sejati? Dan tidak akan pernah bisa menciptakan
kenikmatannya di penghujug malam. Lalu?
Aku masih terdiam mencari-cari
kepulan panasnya yang tidak akan pernah lagi kutemui. Kopi malamku
mendingin....
No comments:
Post a Comment