Penulis: Endar Wahyuni
“Pagi,
Sayang!” Pram mengusap peluhnya. Napasnya ngos-ngosan, iramanya tak
teratur.
“Tumben
jam segini baru nyampe rumah lagi, Pa?” Arum meletakkan baki di meja dekat
suaminya. Teh manis dan kopi susu mengepul menawarkan aroma hangat, bersanding
dengan gorengan pisang yang siap santap.
“Iya,
tadi ketemu temen di jalan, malah kebanyakan ngobrol ngalor ngidul, deh.” Arum
hanya manggut-manggut sambil memandang rumput di pelatarannya yang sudah tak
berembun lagi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.
“Terima
kasih kopi susunya, Ma,” lanjut Pram, “kamu selalu ingat kesukaanku.” Pram
menyeruput kopi susunya sambil melirik wajah istrinya. Arum hanya tersenyum,
lagi-lagi begitu manis di mata Pram. Tapi lama-lama senyum itu memudar, buyar,
lalu lenyap dari pandangannya.
***
“Ma,
kita mau ke mana, Ma?” tangis Anif pecah dalam gendongan mamanya.
“Mama
mau nitipin kamu, Sayang.”
“Kasihan
Papa, Ma. Papa di rumah sendirian. Anif pengen main bareng Papa!”
“Papa
lagi sakit, Sayang. Nanti biar Mama yang urus Papa kamu,” bujuk Arum. Di
pelukannya, Anif masih terisak. Arum bergegas melajukan mobilnya kencang
melewati jalanan yang lumayan lengang.
Hari
minggu, suasana bangunan putih itu tampak sepi. Hanya sesekali ada suara
terdengar dari dalam. Tangisan Anif mulai reda, dia sedang memperhatikan
sekeliling. Bangunan itu seperti sudah pernah dia lihat, entah di mana. Namun,
baru kali ini dia merasa benar-benar mengunjungi bangunan yang telalu kaku
baginya.
“Selamat
pagi, Bu! Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang lelaki sembari memamerkan
senyum ramahnya.
“Iya,
Pak. Boleh saya menitipkan anak saya?”
“Maksud,
Ibu?”
“Anak
saya agak rewel, sebelum saya bicara banyak, boleh saya menitipkannya? Adakah
yang bisa membantu saya?” Seorang perempuan mendekat, meraih Anif dari
gendongan Arum. Anif ingin meronta, tapi perempuan tadi dengan sigap merengkuh
tubuh mungilnya, mengalihkan perhatiannya ke ruangan lain.
“Lalu,
apa yang ingin ibu bicarakan?”
“Saya
punya satu permintaan lagi, boleh?” Lelaki di depannya hanya mengangguk, tampak
bingung dan sedikit kesal.
“Itu
tadi anak saya, namanya Anif. Kakek neneknya yang di sini sudah meninggal.
Sedang kedua mertua saya sedang berada di Singapura untuk berobat. Tolong jaga
anak saya baik-baik. Dia tidak punya sanak saudara lagi di sini.” Arum menghela
napas panjang. Matanya merah, berkaca-kaca dan menyimpan kemarahan serta luka
yang teramat dalam.
“Saya
telah membunuhnya!” lanjut Arum lirih. Lelaki berseragam di depannya
terbelalak.
“Saya
racuni dia, lalu saya tusuk tepat di jantungnya. Tubuhnya saya baringkan di
tempat tidur, saya selimuti dia supaya anak saya tidak curiga. Ini kunci mobil
saya, juga kunci rumah saya,” Arum meletakkan dua batang kunci di meja.
“Dia
sudah selingkuh dari dua bulan yang lalu, ini buktinya!” Arum kembali
meletakkan satu amplop coklat besar. Lelaki gagah berseragam di depannya
mengambilnya, lantas mengeluarkan isinya. Ada beberapa lembar foto mesra, satu
keping CD, dan sebuah ponsel menjadi saksi bisu peristiwa yang begitu
menyakitkan bagi Arum.
“Dan
tadi, aku membuntutinya waktu dia lari pagi. Bapak tau? Wanita busuk itu
mengabarkan bahwa dia tengah hamil, dan dia memaksa suamiku menikahinya. Aku
tak mau dimadu ataupun diceraikan. Jadi biarlah aku dan wanita tak tahu malu
itu sama-sama tidak memiliki Mas Pram.” Arum menangis histeris menahan luka dan
amarah. Seorang polisi datang membawa borgol dan menggiringnya ke ruang
tahanan.
“Jangan
lupa anakku, tolong jaga dia!” teriak Arum dari kejauhan. Lagi-lagi lelaki
gagah yang di atas saku seragamnya tertera nama ‘Bambang’ itu mengangguk, kali
ini mengangguk pasti.
Kulon
Progo, EN-070914
No comments:
Post a Comment