Penulis: Endar Wahyuni
Sinar
mentari perlahan menyusup menembus jendela. Menerpa ranjang berbalut nuansa
biru langit. Hardi sudah terjaga dari tadi. Sementara di sampingnya, Celia,
masih pulas memungut mimpi. Sesekali Hardi menatap wajah Celia, berharap Celia
segera bangun. Wajah cantik itu kian lama kian menggoda. Wajah yang selalu
dirindunya setiap detik. Jarum jam terus berputar, Hardi tak sabar lagi
menunggu Celia bangun.
“Celia,
bangun, Sayang!” Hardi berbisik perlahan, lalu dengan lembut mengecup kening
Celia. Rupanya Celia belum tergoda untuk membuka matanya. Hardi masih
punya satu cara lagi, digelitiknya perut Celia. Kali ini Celia mulai
menggeliat, bibirnya mulai bergerak-gerak. Aihh..., bibir mungilnya begitu
menggiurkan.
“Pagi,
Cantik!” bisik Hardi sekali lagi. Kali ini satu kecup lembut bersarang di bibir
merah Celia, pemilik wajah cantik itu lagi-lagi menggeliat. Hardi semakin gemas
dibuatnya. Digelitiknya kembali Celia, tidak hanya bagian perutnya saja, tetapi
seluruh tubuhnya. Celia tak tahan geli. Tawanya pecah, semakin menggemaskan.
Tangan Celia terus mengejar tangan Hardi yang tiada henti menggelitikinya.
Tapi, seakan ingin terus mencumbu indahnya pagi, Hardi masih terus menggoda
Celia.
Happ!!!
Tangan kanan Hardi berhasil dalam
genggaman Celia. Tapi, tangan kiri Hardi mulai menggantikan aksi si tangan
kanan. Celia membalikkan tubuhnya, berharap tangan kiri lelakinya itu tidak
bisa bermain-main di sekitar perutnya. Namun, kali ini Hardi dengan cepat
mendaratkan ciumannya ke pipi tembem Celia. Celia tertawa manja. Hardi menyukai
ini, tawa Celia yang selalu membangkitkan gairahnya. Ah ..., betapa cantik
tawanya, terdengar memikat di telinga. Lagi dan lagi, Hardi selalu ingin
mendengar tawa yang selalu menawan rindunya.
Celia kali ini sudah membalikkan tubuhnya
lagi. Dibiarkannya Hardi yang mulai bermain-main dengan hidung mancungnya.
Celia tersenyum manis, matanya perlahan menutup seiring hidung Hardi yang
beradu dengan hidungnya.
“Ayah...!” Hardi kaget mendengar suara
Pipit, istrinya. Sejenak dihiraukannya senyum manyun Celia. Ternyata, Pipit
sudah di depan pintu. Tanpa disadarinya, Pipit sudah dari tadi memperhatikan
kemesraannya, bermain-main dengan tubuh Celia. Hardi tersenyum masam, menghela
napasnya panjang. Harus disudahi, pikirnya.
“Ayah, ditunggu-tunggu dari tadi kok
malah main-main dulu, sih? Airnya keburu dingin, tuh! Kasihan Celia kalau
kedinginan,” lanjut Pipit seraya membopong putri mungilnya. Bersiap memandikan
Celia, bidadari kecilnya.
Kulon
Progo, EN-180914
No comments:
Post a Comment