Penulis: Endar Wahyuni
“Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Aku menutup pengajian anak-anak sore ini. Serentak anak-anak langsung menuju tempat wudu seusai menjawab salamku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kebetulan bulan puasa. Jadi, TPA masih berlangsung hingga magrib.
Kurapikan beberapa buku pekerjaan anak-anak. Sesekali, kuintip mereka lewat kaca jendela. Tempat wudu yang terbatas membuat mereka harus mengantre. Biasanya, ada yang memilih main-main sambil menunggu giliran. Namun, sore ini banyak yang memilih menanti sambil duduk-duduk di teras masjid. Maklum, hujan tengah mengguyur kampungku.
“Aduh, Sayang, jangan hujan-hujanan!” teriakku dari ambang pintu ketika kulihat beberapa anak tengah lari-larian di halaman masjid.
Rupanya, tak ada yang mengindahkanku. Mereka malah semakin asyik kejar-kejaran. Bocah-bocah kecil itu tak memedulikan tubuhnya yang mulai basah kuyup. Bahkan, mereka terlihat begitu gembira dalam pelukan hujan.
“Sudah..., sudah...! Nanti kalian sakit, lho. Apa mau pas buka puasa kedinginan gara-gara bajunya basah?” teriakku lagi. Kali ini aku sudah berada di teras masjid.
“Mbak, sini! Seru, lho!” panggil seorang gadis mungil yang terlihat lebih cantik dan terawat dibanding teman mainnya yang lain.
“Sebentar lagi buka puasa. Ayo wudu dulu. Terus nanti masuk masjid! Udah basah itu bajunya!” perintahku sekali lagi.
“Siap, Mbak!” sahut gadis kecil tadi sembari memamerkan senyum manisnya. Namun, kaki kecilnya masih lincah mengejar teman-temannya.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sebenarnya, aku nggak tega juga menghentikan aksi mereka yang terlihat sangat bahagia. Namun, di sisi lain aku pun tak tega jika nanti mereka sakit.
Brukkk!!!
Tiba-tiba bocah perempuan tadi jatuh. Kakinya tersandung batu. Tangisnya buncah memanggil ibunya. Bergegas kuambil payung di sampingku, lantas tergopoh menolongnya.
“Cup, cup, cup! Sudah, nggak apa-apa. Cuma lecet sedikit, kok!” ucapku menenangkan sambil meniup lututnya yang sedikit berdarah.
Gadis mungil itu masih menangis sesenggukan. Tak tega aku melihatnya. Kuambil kapas dan air untuk membersihkan lukanya. Tapi, dia malah semakin kesakitan.
“Sakit, ya? Mbak hati-hati aja, deh, bersihinnya. Tapi, lain kali kamu juga harus hati-hati, ya. Nggak boleh lari-larian, apalagi pas hujan. Kan, licin halamannya...,” nasihatku.
Tangis gadis itu malah semakin keras. Dia meronta-ronta minta diantar pulang. Kucoba membujuknya untuk tinggal sebentar. Paling tidak sampai aku selesai mengobati lukanya. Namun, dia sudah nggak sabar. Akhirnya, kuantarkan dia pulang.
“Maaf, ya, Buk. Ini ngobatinnya belum rata,” terangku ketika sampai di rumahnya.
“Nggak apa-apa, Mbak. Makasih, ya, sudah dianterin pulang. Malah ngrepotin jadinya. Niatnya disuruh ikut ngaji biar pinter. Eee..., Endarnya malah bandel,”ucap perempuan itu.
“Biasa, Buk, anak kecil. Mereka sebenarnya nggak nakal, kok. Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, Buk. Harus buru-buru kembali ke TPA,” pamitku seraya menjabat tangannya.
JOG, En-021214
*) kejadian sekitar tahun 1998
Kurapikan beberapa buku pekerjaan anak-anak. Sesekali, kuintip mereka lewat kaca jendela. Tempat wudu yang terbatas membuat mereka harus mengantre. Biasanya, ada yang memilih main-main sambil menunggu giliran. Namun, sore ini banyak yang memilih menanti sambil duduk-duduk di teras masjid. Maklum, hujan tengah mengguyur kampungku.
“Aduh, Sayang, jangan hujan-hujanan!” teriakku dari ambang pintu ketika kulihat beberapa anak tengah lari-larian di halaman masjid.
Rupanya, tak ada yang mengindahkanku. Mereka malah semakin asyik kejar-kejaran. Bocah-bocah kecil itu tak memedulikan tubuhnya yang mulai basah kuyup. Bahkan, mereka terlihat begitu gembira dalam pelukan hujan.
“Sudah..., sudah...! Nanti kalian sakit, lho. Apa mau pas buka puasa kedinginan gara-gara bajunya basah?” teriakku lagi. Kali ini aku sudah berada di teras masjid.
“Mbak, sini! Seru, lho!” panggil seorang gadis mungil yang terlihat lebih cantik dan terawat dibanding teman mainnya yang lain.
“Sebentar lagi buka puasa. Ayo wudu dulu. Terus nanti masuk masjid! Udah basah itu bajunya!” perintahku sekali lagi.
“Siap, Mbak!” sahut gadis kecil tadi sembari memamerkan senyum manisnya. Namun, kaki kecilnya masih lincah mengejar teman-temannya.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sebenarnya, aku nggak tega juga menghentikan aksi mereka yang terlihat sangat bahagia. Namun, di sisi lain aku pun tak tega jika nanti mereka sakit.
Brukkk!!!
Tiba-tiba bocah perempuan tadi jatuh. Kakinya tersandung batu. Tangisnya buncah memanggil ibunya. Bergegas kuambil payung di sampingku, lantas tergopoh menolongnya.
“Cup, cup, cup! Sudah, nggak apa-apa. Cuma lecet sedikit, kok!” ucapku menenangkan sambil meniup lututnya yang sedikit berdarah.
Gadis mungil itu masih menangis sesenggukan. Tak tega aku melihatnya. Kuambil kapas dan air untuk membersihkan lukanya. Tapi, dia malah semakin kesakitan.
“Sakit, ya? Mbak hati-hati aja, deh, bersihinnya. Tapi, lain kali kamu juga harus hati-hati, ya. Nggak boleh lari-larian, apalagi pas hujan. Kan, licin halamannya...,” nasihatku.
Tangis gadis itu malah semakin keras. Dia meronta-ronta minta diantar pulang. Kucoba membujuknya untuk tinggal sebentar. Paling tidak sampai aku selesai mengobati lukanya. Namun, dia sudah nggak sabar. Akhirnya, kuantarkan dia pulang.
“Maaf, ya, Buk. Ini ngobatinnya belum rata,” terangku ketika sampai di rumahnya.
“Nggak apa-apa, Mbak. Makasih, ya, sudah dianterin pulang. Malah ngrepotin jadinya. Niatnya disuruh ikut ngaji biar pinter. Eee..., Endarnya malah bandel,”ucap perempuan itu.
“Biasa, Buk, anak kecil. Mereka sebenarnya nggak nakal, kok. Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, Buk. Harus buru-buru kembali ke TPA,” pamitku seraya menjabat tangannya.
JOG, En-021214
*) kejadian sekitar tahun 1998
Lihat juga FTS lainnya di sini
No comments:
Post a Comment