Pada akhirnya
semua memang harus berakhir. Semua rangkaian cerita yang pernah kutulis bersama
pagi, kubacakan pada siang, kurekam saat sore datang, lalu kuceritakan kembali
ketika senja membara. Semua telah terangkum manis dalam malam-malam yang penuh
tawa, tangis, kecewa, bahagia, hingga berujung pada sesaknya rindu.
“Semuanya
sudah diatur. Kamu, aku, atau mereka tidak pernah pergi untuk meninggalkan.” Nisa
menghela napas sejenak, sebelum akhirnya dia melanjutkan lagi ucapannya,
“Inilah kehidupan, Re. Waktu akan terus berjalan dan kamu harus pula mengikuti
gerak langkahnya. Aku tahu kamu pasti akan merindukan semuanya. Tapi, bukankah
ada kehidupan baru yang mesti dijalani?”
Aku mengangguk
sambil melirik perutnya yang semakin membesar. “Kamu menikmatinya?” tanyaku
penasaran.
“Iya,”
jawabnya berbinar, “Aku menikmati semua rasa nano-nano itu. Persis seperti perjalanan kita dulu---pahit, asam,
asin, manis.”
“Pernahkah kamu
merindukan kita yang dulu?” Sekali lagi aku bertanya, kali ini dengan mata yang
mulai sembab.
Nisa hanya
terlihat menghela napas panjang lalu memandangku lekat-lekat. Aku mengangkat
bahuku seolah bertanya ‘adakah yang salah dengan pertanyaanku barusan?’. Lantas
kubalas tatapannya seiba mungkin, berharap dia segera memberiku jawaban.
“Re, kenapa
jadi galau gini, sih? Ini hanya soal kecil. Ayolah! Semua harus berjalan
sebagaimana mestinya. Aku tahu kamu sangat mencintai masa lalumu. Tapi, ini
hidup, Re... please!”
“Nisa,
pernahkan kamu merindukan masa-masa itu?” Kuulangi lagi pertanyaanku.
“Oke, oke, aku
jawab. Pernah. Sering malah. Apalagi pas melihat ‘moment-moment’ di mana itu
sangat mengingatkanku tentang kebersamaan di masa lalu. Tapi, yang perlu kau
tahu, bahwa rasa rindu ini bukan menandakan sebuah kesedihan atau kepiluan.
Namun sepenuhnya adalah tentang kebahagiaan, kangen yang menggelitik. Membuat
kita sering kali tersenyum sendiri.”
“Aku
menyayanginya, Nisa,” rengekku.
“Aku yakin kamu
juga sangat menyayangi lelaki yang menemanimu sekarang. Sudah jangan galau,
deh. Kaya’ ada masalah besar aja. Tidurlah, Reina! Besok hari pernikahanmu,” tukas
Nisa seraya merapikan kembali bingkai demi bingkai foto. Benda yang merangkum
segala perjalananku dengannya, dengan teman-teman lainnya, dengan anak-anak
asuhanku, dengan teman-teman berbagai organisasiku, juga dengan teman-teman
kerjaku. Benda yang kupercaya untuk menyimpan semua cerita ini sebaik mungkin karena mulai besok pagi semua akan kutinggalkan. Membiarkannya singgah rapat dalam ingatan, pengalaman, dan kenangan sebuah kebersamaan.
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini
No comments:
Post a Comment