Yogyakarta, 25 februari 2012
Sore ini di tengah kepadatan lalu lintas Jogja yang katanya adalah kota yang aman, nyaman dan tentram ini (tapi tidak bagiku), kembali kulihat sosok yang membuat penglihatanku jadi kabur oleh butir-butir yang siap bertemu bumi. Ya..., sosok yang wajahnya bukan lagi hampir keriput tapi memang sudah keriput, dengan mimik muka yang seolah mengatakan "narima ing pandum". Setumpuk koran masih dibopongnya. Beliau berdiri di tengah pembatas jalan, dan mungkin beliau berharap agar lampu merah itu tidak cepat berlalu. Ah..., tapi apa artinya lampu merah itu berlama-lama nyala kalau toh akhirnya tak ada yang berminat pada dagangannya. Apalagi matahari sudah tak sabar menuju peraduannya. Seakan semua orang yang berada di atas rayap-rayap jalanan itu pun sudah tak peduli, yang mereka pikirkan adalah bergegas pulang melepas lelah dan bertemu keluarga mereka. Atau bahkan ada sebagian dari mereka yang membenci sosok itu karena menambah ruwetnya persimpangan.
Tapi mungkin aku juga termasuk orang yang tidak peduli. Terlalu banyak pedagang koran eceran yang tersebar di setiap persimpangan jogja, masak iya setiap bertemu harus membelinya satu-satu. Jadi, pengusaha koran harian, dong. Inilah pikiran kotor tapi adalah kenyataan dan bukan pilihan. Mau gimana lagi, hamya bisa memandang iba. Mungkin semua orang bisa mengatakan "di usia beliau harusnya beristirahat di rumah menikmati masa tuanya". Tapi, inilah kenyataannya, bahwa beliau harus menikmati masa tuanya dijalanan panas kering kerontang ini, bukan di rumah duduk menikmati kopi sambil membaca koran, karena koran baginya tidak untuk dibaca tapi dijual. Aku sendiri tak bisa membayangkan kehidupannya, yang mungkin panas, hujan, hujatan, makian, harapan agar koran-koran itu segera lepas dari timangannya menjadi teman dan makanan masa tuanya.
Sejenak terlintas sosok kakekku. Beliau pun di masa tuanya harus berteman dengan teriknya raja siang ataupun dinginnya airmata langit. Ya, beliau adalah sosok yang terkadang sangat menjengkelkan anak-anaknya atau pun aku sendiri, cucunya. Beliau adalah sosok yang keras kepala dan sulit disuruh untuk beristirahat. Tapi kalau sudah kecapekan dan jatuh sakit barulah tidak mau makan, siapa lagi yang susah kalau gitu...???
Kembali kesosok bapak tua pedagang koran itu, munkin beliau adalah tipikal orang yang sama dengan kakekku. Tapi, yang menjadi perbandingan adalah di mana kakekku bekerja di kebun atau pun di sawah, sedang bapak tua tersebut harus bekerja di tengah keramaian kota di mana kebanyakan yang menjadi teman adalah ketidakpedulian. Inilah kehidupan keras yang harus dijalani setiap insan yang mau berusaha dengan cara yang direstui Tuhan.
Sempat terpikir bagaimana mengatasi masalah-masalah jalanan yang menangis mengiba mencari rejeki. Tapi siapalah aku...???
Aku hanya sosok yang juga tak punya harta berlimpah, tak punya kekuasaan untuk mengatur negeri ini, untuk memberi hukuman pada para korupsi supaya menyediakan tempat tinggal, lapangan kerja dan kehidupan yang layak. Aku hanya sosok yang bisa memperhatikan, dan mungkin hanya sekadar perasaan saja yang tersentuh, tanpa bisa berbuat sesuatu yang bisa membantu mereka.
Aku hanya sosok yang juga tak punya harta berlimpah, tak punya kekuasaan untuk mengatur negeri ini, untuk memberi hukuman pada para korupsi supaya menyediakan tempat tinggal, lapangan kerja dan kehidupan yang layak. Aku hanya sosok yang bisa memperhatikan, dan mungkin hanya sekadar perasaan saja yang tersentuh, tanpa bisa berbuat sesuatu yang bisa membantu mereka.
Ya Tuhan, aku rasa mereka berhak mendapat kebahagiaan. Berilah aku dan mereka rezeki yang halal, yang bisa membuat hati kami tentram dan merasakan kebahagiaan seutuhnya meskipun kami tak berlimpah harta. Aamiin :)
No comments:
Post a Comment