Saturday, February 28, 2015

Cinta Selalu Pulang? (3)

“Ketika Cinta Selalu Pulang.” Ya, sepertinya aku harus memercayai kalimat yang secara nggak sengaja kutemukan di sebuah film romantis itu. Bagaimana tidak? Cinta memang selalu pulang. Seperti janjimu sebelum kepergianmu. Kita, aku dan kamu pasti kembali, dan akan selalu kembali.

Malam itu kamu benar-benar kembali. Saat pendar rembulan hilang ditelan mendung. Saat gerimis membungkus kotaku. Saat aku hampir merasa tak sanggup lagi melipat rindu. Kamu datang. Ya, kamu benar-benar pulang menemuiku.
                              
“Singgah saja atau benar-benar pulang?” gurauku menyambut kedatanganmu di malam tanpa bintang. Kamu hanya terkekeh tanpa menjawab apa pun.

Tenang. Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tubuhmu tampak kelelahan. Jadi, yang harus kulakukan adalah menyediakan tempat ternyaman bagimu. Tidurlah sepuasnya, selelap mungkin di rumah ini, tempat yang kuharap benar-benar menjadi peraduan terakhirmu.

Malam demi malam akhirnya kita lewati lagi. Bersama bermandikan kilau rembulan di balkon kesayangan. Menghabiskan kopiku juga susu putih kesukaanmu. Bercengkerama sepuasnya, memadu kasih memadankan kisah. Sampai di malam yang hampir purnama itu...

“Adakah kamu temui hunian baru selama perjalananmu pergi sampai pulang lagi?” Kali ini aku berucap datar. Tak ada sedikit pun nada gurauan lagi. Yang ada hanya pilu di balik hati yang terus menerka-nerka.

Sontak matamu kini benar-benar tajam menatapku penuh selidik. Dan aku tahu itu juga merupakan sebuah simbol pertanyaan.

“Kamu tak pernah benar-benar pulang. Bahkan pertanyaan ‘kapan’ yang selalu kutanyakan tak pernah kudapatkan jawabannya,” keluhku tanpa menunggu pertanyaan ‘kenapa bertanya seperti tadi’-mu itu.

“Aku hanya belum bisa memastikan akan tidur di mana purnama nanti,” jawabmu setelah sekian lama bungkam.

Aku menatapmu kosong. Tidak ada air mata buncah kali ini. Karena kemarin lusa aku telah menyiapkan hati untuk semua ini. Aku tahu bahwa cepat atau lambat pilihan terbaikku adalah mundur.

“Maaf, mungkin sebaiknya sekarang kamu pulang ke rumahmu sebenarnya. Sebentar lagi purnama. Aku memilih menutup pintu dan jendela-jendela rumah ini.”

“Hei, tidak bolehkah aku tetap di berandamu untuk berpikir.  Sampai aku benar-benar tahu rumah mana yang merupakan tempat terbaik untuk persinggahanku di purnama nanti?”

“Rumahku bukan tempat berteduh atau singgah sementara.” Kusodorkan sebuah kain berwana merah bata padamu. “Semoga ini mampu menemanimu, menjadi tempatmu kembali bersimpuh, di rumah mana pun kamu pulang nanti.”

Kali ini aku benar-benar mengatupkan daun-daun jendela pun daun pintu. Membiarkanmu pergi mungkin memang pilihan terbaik. Karena memaksamu pulang tidak akan menyenangkan bila nyatanya saat kamu terlelap aku masih terjaga menimang air mata. Aku tidak pernah menyesal. Cinta memang selalu pulang. Pulang ke tempat terbaiknya. Dan aku pun akan pulang menemui cinta terbaikku.


JOG, En-280215



Baca dari awal juga, ya...
Silakan kunjungi Cinta Selalu Pulang (1)

Cinta Selalu Pulang? (2)


“Ketika Cinta Selalu Pulang.” Kututup halaman youtube yang baru saja menyelesaikan film pilihanku malam ini. Kalimat manis itu---yang selalu kutemukan di halaman pencarian google---menjadi embel-embel judul film barusan. Padu-padan diksi yang sempat membuatku tersenyum kecil dan menyimpan banyak harapan. Menguatkan doa-doa sepertiga malam. Menjadi senjata ampuh ketika air mata mulai menderas. Tapi, benarkah cinta akan selalu pulang?
                   
Malam ini, seperti biasa kita sengaja meramu penawar rindu dengan sedikit basa-basi kabar, ditambah beberapa sendok cerita ini-itu tentang hari yang baru saja lewat, lalu kita taburi candaan nakal tentang ‘kita’. Sedap sekali, bukan? Sampai-sampai penawar rindu ini malah menjadi candu untuk kita nikmati di malam-malam berikutnya.

“Buktinya aku pulang lagi, kan?” Aku masih ingat betul kata-kata ini keluar dari mulutmu ketika aku protes tentangmu yang selalu datang dan pergi. Protes yang sengaja kubalut dalam gurauan, yang sesungguhnya benar-benar ungkapan sebuah kejujuran.

“Untung aku masih mau bukain pintu,” candaku. Lalu kita lanjutkan gurauan-gurauan nakal lainnya. Tawa kecil pecah memeriahkan malam. Sungguh, kuakui kamu memang benar-benar telah memenangkan hatiku. Walaupun, belum juga kudengar satu jawaban atas pertanyaan terakhirku sebelum kita sama-sama beranjak tidur. “Lalu, kapan kamu akan benar-benar pulang? Singgah dan menetap....”

Pagi-pagi aku terbangun dan menemukanmu sudah berpakaian rapi. Ini bukan hal yang baru lagi. Tapi, tak bisa kupungkiri, ada sedih yang teramat sangat terselip di palung hati.

“Aku pergi sebentar,” tuturmu singkat tanpa mau mendengar tangisku yang hampir meledak. Tidak ada penjelasan lain tentang tujuanmu. Tubuhmu langsung melesat jauh begitu saja. Hanya secarik kertas yang kutemukan di atas bantalmu.


“Aku pergi sebentar untuk menengok sepi. Aku pastikan aku akan pulang. Sejauh apa pun kita, aku dan kamu pasti kembali, dan akan selalu kembali.”


JOG, En-280215



Baca cerita"Cinta Selalu Pulang?" sebelumnya di sini
Untuk cerita selanjutnya bisa dibaca di sini

Friday, February 27, 2015

Cinta Selalu Pulang? (1)

Sejak peristiwa itu, malam-malammu menjadi gelisah. Tidurmu antara lelap dan terjaga. Malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan, malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan.*)
                           
Pukul tiga dini hari tiba-tiba ponselku menjerit memberitahukan adanya pesan yang masuk. Satu pesan, dua pesan, tiga pesan. Aku masih terlelap. Belum puas juga, ponselku lagi-lagi mengeluarkan nyanyiannya, kini lengkingannya semakin lama semakin mengeras. Kali ini bukan sebuah pesan masuk, melainkan satu panggilan yang sesungguhnya teramat singkat pula karena belum sempat kuangkat sudah mati terlebih dahulu.

Kusipitkan mata, mencoba membaca satu per satu pesan masuk terbaru.

Aku gak bisa tidur sama sekali. Otakku dipenuhi rasa bersalah.

Sekali lagi aku minta maaf. Oh, entah berapa kali aku minta maaf padamu, dan berapa kali kamu bilang telah memaafkanku. Tapi tetap, rasa bersalah ini masih saja ada.

Apakah Tuhan juga akan memaafkanku. Ternyata begini rasanya :(

Jemariku sedikit tertatih mengetik balasan pesan di malam menjelang pagi itu.

Ambilah air wudu, kurasa ini waktu yang baik untuk menenangkan diri. Sepertiga malam yang terakhir. Setelahnya, tidurlah. Besok kita akan bertemu, tentunya dengan kondisimu yang lebih baik dari sekarang.

Kumatikan ponsel setelah pesan balasanku terkirim. Bukan maksudku tidak mau menemanimu. Tapi, kurasa yang kamu butuhkan saat ini adalah istirahat. Mendamaikan hati, pikiran, dan tentunya fisikmu juga.

Sejak pertemuan siang tadi---setelah beberapa musim tak pernah bertemu---aku tahu keadaanmu saat ini. Terjerembap dalam kubangan terburuk. Diselubungi berbagai macam rasa bersalah. Lalu, penyesalan yang selamanya memang tinggal penyesalan, membalut segala kekalutan, cukup membuat baju yang kamu kenakan mungkin terasa lebih ketat.

“Terima kasih.” Itu kata-kata terakhirmu tadi siang. Menutup semua pengakuan, penyesalan, dan permintaan-maafmu. Ya, siang tadi kamu telah kembali walau dalam kondisi terburukmu. Mungkin cinta memang akan selalu pulang dengan caranya sendiri-sendiri, batinku.


JOG, En-270215

*) Kutipan novel ‘Sunset Bersama Rosie’ karya Tere Liye



Baca juga Cinta Selalu Pulang? (2)

Thursday, February 26, 2015

BIAYA AIRPORT TAX

Kendati mulai penerbangan Maret 2015 tiket pesawat sudah termasuk Airport Tax, namun kali ini saya tetap mencoba share beberapa biaya airport tax di beberapa bandara, mengingat per bandara mempunyai ketentuan yang berbeda. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman semua, paling tidak untuk sekadar tahu biaya apa saja yang termasuk dalam tiket penerbangan supaya tidak mudah tertipu oleh 'calo tiket'.



Sumber:
- http://www.syukmagroups.com/2014/05/tarif-pjp2u-passenger-service-charge.html
- Cek langsung di Sistem Agent Maskapai


Wednesday, February 18, 2015

SUNGGUH


Karya: Endar Wahyuni

Sungguh, aku telah banyak melihat wajah penuh kepura-puraan
Menyimak binar mata yang seolah mencintai fajar
Menemukan mulut ternganga pada kesengajaan
; Sempurna

Sungguh, aku telah banyak mendengar dengusan-dengusan
Berpura kesal pada hujan yang turun di kuncupnya pagi
Mengutuk langit-langit kota
; Meyakinkan

Sungguh, aku telah banyak merasa datangnya simpati dan empati
Bagi embun yang lebih dulu diterpa hujan
Seakan begitu menenangkan di tengah ingar-bingar air yang jatuh dari talang-talang
; Melenakan

Dan sungguh, aku tak ingin mengacuhkannya
Hujan sudah telanjur menguyupkan tubuhku lebih dulu
Sebelum akhirnya mata itu tajam menusuk pagi
Sumpah serapah bernyanyi di balik daun telinga
Pujian sesungguhnya hujatan yang dialirkan sedemikian tenangnya

Lalu sungguh…
Biarkan aku bergeming
Diam di antara gemuruh basa-basi
Membutakan diri, menulikan jiwa, dan membisukan hati


JOG, En-180215



Lihat juga puisi lainnya di sini
 

Wednesday, February 11, 2015

Burung Bangau Ungu

Penulis: Endar Wahyuni

“Selamat ulang tahun, Sayang!” ucap Joe seraya menyodorkan sebuah kotak terbalut kertas kado warna ungu.

“Makasih, Sayang....”

Kuterima kado darinya seraya tersenyum simpul. Joe lantas duduk di sampingku. Sore ini cukup cerah. Sebelumnya, kami berdua memang sepakat bertemu di taman kota. Tak ada kue maupun perayaan. Menikmati sore bersama Joe saja sudah cukup bagiku.

“Buka, deh! Tapi, jangan dilihat dari isinya, ya,” pinta Joe.

Perlahan kubuka kotak berukuran sedang itu. Lantas pandanganku beralih pada Joe yang sedari tadi memperhatikanku. Kukerlingkan mataku, pasang tampang manja. Aku tersenyum simpul melihat kembali isi kotak. Sebuah selimut tebal warna ungu kesukaanku dan...

“Sengaja selimut. Biar setiap malam seolah-olah aku bisa menghangatkanmu,” tutur Joe diikuti gelak tawanya.

“Idiiihhh, gombalan model jaman kapan, tuh?” ledekku. “Kalau ini?” Kuambil beberapa bungkus kertas origami dari dalam kotak tadi.

“Kata orang, kalau kita bisa membuat seribu origami burung bangau, nanti permintaan kita akan terkabul. Nah, aku pengin kita bareng-bareng buatnya. Tapi, sebelum dilipat, kita tulis dulu harapan kita di kertas itu. Satu kertas satu harapan,” terang Joe.

“Mitos!” tukasku.

“Ini bukan tentang mitos. Aku hanya ingin kalau tua nanti, pas kita buka lagi kertasnya, kita bisa ingat lagi masa-masa ini. Selain itu, harapan yang kita tulis bisa jadi penyemangat buat kita sekarang.”

“Iya, iya....”

“Nanti taruh kamarmu saja, ya. Bisa dijadikan hiasan pintu atau jendela, nanti digantung. Gimana?”

“Siap, Sayang!” Kuacungkan jempol dan tersenyum lebar.

“Anak pintar,” goda Joe seraya mencubit hidung mungilku.

Aku berusaha menghindari cubitan Joe, namun gagal. Dia terus saja menggodaku. Kami lantas tertawa bersama.

“Sayang, ayo berangkat sekarang!” Suara Mama dari balik pintu membuyarkan lamunanku tentang kebersamaan dengan Joe beberapa bulan silam.

“Iya, Ma. Tunggu!” Kuseka bulir-bulir bening di pipi.

Rupanya, cukup lama aku menangis sendirian di kamar. Bahkan baju hitam yang kukenakan pun sebagian telah kuyup air mata. Selimut ungu dalam pangkuan pun ikut lembap.

“Ini kertas terakhir, Sayang. Kamu jahat! Membiarkanku menyelesaikan burung-burungan ini sendirian,” ucapku lirih.

Tangisku kembali buncah mengiringi pena yang menari-nari di atas kertas origami berwarna ungu. Kertas terakhir. Artinya, permintaan terakhir yang akan kutulis. Berharap burung-burung ini sampaikan semua pada Tuhan. Dan kelak, entah kapan, entah di dunia atau di surga, Tuhan berkenan mengabulkannya.

JOE, BANGUNLAH, SAYANG! LUPAKAH KAU? HARI INI HARI PERNIKAHAN KITA?

Kulipat kertas ungu itu membentuk burung bangau. Origami terakhir yang telah kami perhitungkan jauh-jauh hari, yang harusnya kami buat bersama.

"Ah, haruskah kusalahkan takdir Tuhan?" gumamku mengingat kecelakaan yang menimpa Joe sepulang dari rumahku semalam.


JOG, En-031214



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini