Thursday, January 29, 2015

Si Jabang Bayi

Penulis: Endar Wahyuni

Siang itu, Albert tengah mondar-mandir di depan ruang bersalin sebuah rumah sakit. Pikirannya gelisah tak keruan. Hatinya berdebar-debar. Mulutnya komat-kamit merapal harap. Sekujur tubuhnya gemetar memendam ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan. Perasaan khawatir terus berkecamuk mengingat wanita yang dicintainya tengah berjuang di dalam sana.

“Bapak, bisa ikut saya sebentar untuk melengkapi beberapa data yang kami perlukan?” Seorang suster tiba-tiba mengejutkan pria berkebangsaan Jerman tersebut.

“Oh... emmm... ya, baik, Sus!” Albert gugup.

Beruntung dia sudah lama tinggal di Jakarta sehingga sudah terbiasa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Albert melempar tatapan ke sekeliling tempatnya berdiri. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergegas diikutinya perempuan berseragam putih tadi.

Setelah urusan administrasi selesai, Albert kembali duduk di bangku tunggu ruang bersalin. Rupanya, si kecil belum lahir. Albert kembali cemas. Sebentar-sebentar dia berdiri, berjalan beberapa langkah, kemudian duduk lagi. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak menambah runyam otaknya.

Krekkk!!!

Pintu ruangan dibuka dari dalam. Albert lantas berdiri menghampiri dokter yang keluar dari ruangan tersebut.

“Bagaimana, Dok?”

“Baik, semuanya dalam kondisi sehat. Selamat, ya! Anak bapak berjenis kelamin laki-laki.” Dokter menjabat tangan Albert seraya tersenyum ramah.

“Terima kasih, Dok. Boleh saya masuk?”

“Oh..., silakan! Saya tinggal dulu, ya....”

“Sarah...,” panggil Albert lembut.

Sarah menoleh lemas. Tubuhnya memang masih terlihat lemah. Dia sendiri tidak mengira bakal melahirkan bayi secara prematur.

“Sarah..., maaf aku terjebak macet. Kamu baik-baik saja, kan, Sayang? Mana anak kita?” Seorang pria tiba-tiba masuk.

Sarah mengacungkan telunjuknya pada sebuah keranjang bayi. Pria tadi buru-buru mendekati benda tersebut.

Pria bernama Bambang itu tiba-tiba melangkah mundur dari keranjang bayi. Mata biru milik si jabang bayi masih tergambar jelas, meruntuhkan semua kepercayaannya pada istrinya, Sarah. Bambang menatap tajam Albert---orang yang beberapa jam lalu mengirim pesan bahwa Sarah ingin melahirkan---seraya mengepalkan tangannya.

"Oh, ya, Pak Albert, terima kasih telah membawa istriku ke rumah sakit. Anda perhatian sekali pada karyawan," sindir Bambang.


 
JOG, En-261114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

Tuesday, January 27, 2015

Lapar yang Menggigil

Karya: Endar Wahyuni

tiba-tiba aku ragu
pada semangkuk mi kuah yang kauhidangkan
tertata rapi di meja makan bersama kepulannya

cukup sedapkah ia?
sedang di warung depan
ayam panggang lebih menggiurkan cacing-cacing perut
yang sedari tadi belingsatan
mengisyaratkan si empunya tengah kelaparan

aku takut...
sangat takut...
takut kita hanyalah sepasang gigil
yang berteduh dari guyuran hujan
lalu saling mencoba menghangatkan tubuh
lewat kuah panas yang terhidang menggoda

dan ketika di luar sudah reda
ketika kuah telah habis tak bersisa
ketika mi tak mampu mengganjal
ketika perut masih terus meronta
diam-diam kita saling menyelinap lewat pintu belakang
mengendap-endap di bawah jendela samping rumah
lalu melahap nikmat ayam panggang warung depan


JOG, En-270115



Lihat juga puisi lainnya di sini

KIRANYA SUDI

Penulis: Endar Wahyuni

sekiranya rindu ini tak akan genap
mewakilkan debar yang tak pernah terungkap
sudilah kiranya tetap tinggal walau senyap
mencumbui candu yang diam-diam menyelinap
bersembunyi di antara kawanan rasa yang tercecap

sekiranya rasa ini tak terlihat cukup
tertuang pada semangkuk pagi yang masih kuncup
apalagi siang pasti jadi lebih redup
sudilah kiranya tetap menunggu degup
yang sesungguhnya tengah meletup-letup
namun gagal menampakkan diri karena gugup
hingga memilih mengindik di balik senja yang kian kuyup

sekiranya memang sudi
sudilah kiranya mengemudi
membawa kapal ini berlayar di luas laut yang tak terkira
seraya menikmati guratan wajah cakrawala di atas samudra
yang sudi menjingga dimakan senja


JOG, En-270115



Lihat juga puisi lainnya di sini

Monday, January 26, 2015

Darah di Rumput Hijau

Penulis: Endar Wahyuni

Pagi hari di gunung Semedi. Kicau burung bersahut-sahutan menyibak hening pagi. Mereka beterbangan mengitari pepohonan, bersendau gurau.

Sementara di kaki gunung tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam. Duduk bersimpuh dan mengambil posisi namaskara. Matanya terpejam. Mulut komat-kamit merapal doa. Di depannya, sebatang dupa yang mulai terbakar ujungnya bersanding dengan sebesek mawar merah. Tak lupa beberapa macam buah juga bulatan-bulatan nasi putih tertata rapi. Hening pagi ini menambah khusyuk doanya.

Tiba-tiba, terdengar kegaduhan dari arah lain. Semakin berisik hingga dirinya merasa terusik. Perlahan dia membuka mata. Lalu berjalan hati-hati, mencari dari mana arah suara itu. Langkah kakinya pun mengikuti perintah telinganya.

“Heiii! Apa yang kalian lakukan?” hardiknya menemukan kerumunan orang yang sedang melihat-lihat pepohonan.

Sontak semua orang yang berada dalam rombongan itu menoleh. Lelaki tadi memandang beringas. Dilihatnya, di antara kerumunan manusia itu ada beberapa alat penebang kayu. Barang yang selalu membuatnya geram.

“Siapa kau?” tanya salah seorang dari mereka.

“Pertanyaanku belum kalian jawab. Apa kalian hendak menebang pohon-pohon di gunung ini?”

“Apa urusannya denganmu? Jangan ikut campur! Ini tugas kami.”

“Tidak ada yang boleh menebang pohon di sini!”

“Bedebah! Sudah kubilang ini tugas kami!”

“Kau bukan pemiliknya!”

“Lalu siapa kau? Kau pemiliknya, haaa?! Berani-beraninya melarang kami.” Rombongan itu rupanya mulai naik pitam.

“Aku berasal dari sujana. Tapi, aku sudah lama tinggal di sini. Aku penjaga gunung ini. Dan pepohonan ini menjadi urusanku.”

“Kurang ajar! Minggir kau! Atau kami potong juga lehermu?!”

“Kau tak akan bisa memenggal kepalaku. Aku orang yang sakti mandraguna. Tidak ada yang bisa mengalahkanku,” sahut lelaki tadi sambil mencibir.

“Omong kosong!”

Sebelum sempat lelaki tadi menjawab, dua orang dari rombongan sudah memegangi tubuhnya. Seorang lagi mulai menyalakan gergaji. Rupanya, rombongan penebang kayu liar tadi benar-benar sudah kalap.

“Silakan,” ucap lelaki serba hitam itu dengan santainya.

Merasa diremehkan, si pemegang gergaji mendekatkan gergajinya ke leher lelaki itu. Tanpa pikir panjang, dipenggalnya kepala lelaki tadi.

Ngenggg!!!

Srakkk!

Darah mengalir deras membasahi pakaian serba hitamnya. Tubuhnya tergeletak di rerumputan dengan kepala terpisah. Orang-orang dalam rombongan tertawa penuh kemenangan. Akhirnya, aksi mereka nanti bisa aman tanpa ada yang tahu.

“Katanya orang sakti. Nyatanya mati juga. Gunung ini luas. Ayo, kita cari tempat lain saja!” perintah pemimpin rombongan.

Gelak tawa mengiringi kepergian rombongan tadi. Mereka berjalan ke atas gunung. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba terdengar hardikan dari depan mereka.

“Masih berani ke atas gunung?” tanya suara tadi.

“Ka...ka...kamu..., kamu...?”

Serentak mereka menoleh ke belakang. Jasad lelaki tadi sudah tidak ada. Bahkan rumput masih tampak hijau. Tidak ada bekas darah sedikit pun. Seketika bulu kuduk mereka berdiri.


JOG, En-191114


 
Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

NASI AYAM

Penulis: Endar Wahyuni

Nduk, makan!” panggil Mak dari dalam rumah.



Aku yang masih asyik bermain masak-masakan di halaman pun mengacuhkan panggilan Mak. Bahkan, perutku yang sudah mulai ikut memanggil juga kuabaikan. Maklum, aku baru saja dibelikan satu set peralatan masak-masakan oleh Bapak. Jelas saja aku enggan meninggalkan mainan baruku ini.



“Nduk, mainnya nanti lagi, dong. Ayo, makan dulu! Sudah Mak buatkan telur mata sapi, tuh!” rayu Mak.



“Bentar, Mak....”



“Nanti perutnya sakit, lho. Apa mainannya Mak sita aja?”



Akhirnya aku nurut. Kutinggalkan mainanku dan bergegas menghampiri Mak di ruang makan. Kudapati Mak telah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan telur mata sapi dan bakmi goreng kesukaanku.



“Makan sendiri apa disuapin?” tanya Mak.



“Makan sendiri, dong, Mak,” jawabku sambil nyengir.



“Anak pintar. Nanti dihabiskan, ya!” Mak berlalu ke dapur lagi.



Sedikit demi sedikit mulai kulahap makanan di hadapanku. Pilihan utamaku adalah bakmi goreng. Setelah bakmi goreng habis, aku beralih menyentuh nasiku. Satu suap nasi berhasil bersarang di mulutku bersama secuil kuning telur. Lalu berlanjut pada suapan-suapan berikutnya.



Tiba-tiba, tanpa kusadari kuning telurku sudah habis begitu saja. Ahhh..., aku paling malas makan putih telur. Nggak enak, nggak punya rasa menurutku.



“Mak...!”



“Ada apa, Nduk?” jawab Mak dari dapur.



“Udah....”



Kulihat Mak berjalan mendekatiku.



“Loh, kenapa nggak dihabiskan?” tanya Mak.



“Nggak suka putih telurnya,” jawabku pasang muka manja.



“Eh, ya, nggak boleh gitu, dong. Harus dihabiskan. Katanya anak pinter?”



“Nggak mau, Mak. Aku udah kenyang,” rengekku.



“Tadi Mak ambilin nasinya cuma dikit, lho. Masa’ udah kenyang? Kapan besarnya kalau makan saja nggak habis. Atau, Mak ambilin bakmi gorengnya lagi?”



“Nggak mau, Mak. Pokoknya nggak mau!”



“Jangan gitu, dong, Nduk. Nanti kalau nggak dihabiskan, ayamnya mati, lho!” ancam Mak.



Aku cemberut mendengar kata-kata Mak. Aku baru saja diberi satu ekor ayam oleh nenekku. Kalau mati, aku nggak punya ayam lagi, dong. Akhirnya, kulahap kembali nasiku dengan malas-malasan. Kulihat Mak duduk menemaniku sambil senyum penuh kemenangan.



“Padahal kalau makannya nggak dihabiskan pun ayamnya nggak bakalan mati. Malah hidup, dong, Mak. Soalnya, kan, nasi yang nggak kuhabiskan itu bisa dikasih ke ayam. Kenyang, deh, itu ayam!” ucapku sore ini pada Mak setelah mengingat dan menceritakan ulang peristiwa belasan tahun yang lalu. Mak hanya terkekeh mendengar protesku kali ini.



“Dulu, kalau nggak Mak gituin, nggak bakalan kamu habiskan makananmu.” Mak mencibir seraya menyeruput teh hangatnya.





JOG, En-181114




Lihat juga FTS lainnya di sini