Sunday, December 28, 2014

Happy Birthday Thathachan ☺

Video ini di buat dengan ide dan pemikiran bersama, di buat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan waktu yang sependek-pendeknya. Semoga berkenan dan selamat bertambah usia. ☺

Wednesday, December 24, 2014

LIFE (Part 18)

Kalau kau (juga) ingin pergi, pergilah!
Karena sejak semuanya pergi, aku bahkan tak ingin percaya siapa pun lagi. Sejak semuanya meninggalkanku, sejak semuanya entah ke mana, aku merasa tak butuh lagi ditemani. Bukan karena aku mampu sendiri. Bukan! Tapi, sejak semuanya hilang, aku merasa aku memang tak pantas ditemani. Maka, jika kau (juga) ingin pergi, pergilah!

Iya, aku memang tak pantas untuk berteman dengan siapapun. Apalagi ditemani siapapun. Aku cukup mengerti siapa aku. Aku cukup mengerti kelebihanku yang tak lain adalah kekurangan yang berlebih. Yang tak membuat siapapun merasa nyaman. Mana mungkin kau betah menemaniku. Aku tahu itu. Dan aku cukup mengerti diriku. Aku paham.

Tak usah kau protes pula aku yang tak acuh ini. Tidak perlu. Karena untuk hal ini pun aku cukup tahu. Bahkan, kamu entah orang keberapa yang mengatakan ini. Cukup! Tak usah kau membahas masalah ini lagi. Aku mengerti tidak ada orang yang ingin diabaikan. Dan aku paham, kau termasuk di antaranya, begitupun aku.

Tak perlu kau takut-takuti aku, bahwa ketidak-acuhan ini bisa membuat yang dekat menjadi jauh. Aku sudah tahu itu. Dan aku cukup mengerti rasanya tidak dipedulikan. Serta cukup paham rasanya menjadi yang ditinggalkan. Hanya karena ketidak-acuhan, yang aku akui itu memang menjadi sakral. Hanya saja, terkadang pasti ada suatu hal yang menyebabkan ‘udang di balik batu’ ini.

Jangan kau tanya mengapa dan bagaimana. Karena aku sendiri pun tak tahu. Aku tak cukup mengerti apa aku memang bukan orang yang acuh. Atau acuhku yang ‘sengaja’ kusembunyikan di balik kata ‘tak’. Aku tak cukup paham akan hal ini.

Kalau kau (juga) ingin pergi, pergilah!
Tak perlu kau bahas tentang karma. Tentang hukum rimba makan dan dimakan. Tentang benih yang ditabur dan hasil yang dipanen. Aku sudah tidak peduli. Sejak semua pergi, dan mungkin kau pun akan menyusul pergi, aku sudah tak peduli dengan diriku sendiri. Toh, siapa aku? Sudah kubilang dari awal. Aku bukan siapa-siapa. Siapa yang akan menemaniku. Sudah kutegaskan pada diriku sendiri, aku memang tak pantas punya teman, apalagi ditemani.

Aku sudah jatuh di jurang yang (kurasa) cukup dalam. Buat apa kau masih mencoba memberitahuku rasanya jatuh. Sakit, kan? Aku sudah tahu. Aku mengerti perihnya. Dan aku paham pedihnya yang teramat menyiksa.

Jadi, pergilah!
Aku tak akan menghalangimu pergi. Dan aku tak akan pernah menyalahkanmu pernah mengunjungiku. Karena sejatinya, akulah di sini yang ‘selalu’ salah. Aku yang tak mampu menjaga pintu yang sedianya telah lama kututup rapat-rapat.

Pergilah!
Tinggalkan aku dalam rasa hambar yang kian berhambur ini. Kalau pun tak akan pernah kucecap itu manis. Bolehlah kiranya tak kusesap pahit ini. Kalau pun memang aku tak pernah ditakdirkan untuk tertawa,  aku harap tak ada (lagi) air mata.

Monday, December 22, 2014

LIFE (Part 17) "SELAMAT ULANG TAHUN BABYTHA"




Penulis: Endar Wahyuni
 

Cakrawala mulai tawarkan semburat jingga. Siluetnya begitu asyik memagut senja. Alunan ombak tampak memesona dalam pelukan keemasan. Menemani buih-buih asin mencumbui butir pasir pesisir.

Sementara, di tepi pantai, seorang gadis cantik---sebut saja Babytha---tengah duduk di hamparan pasir putih. Playlist ‘Ngamen 1’ hingga entah ngamen berapa mengiringi hatinya yang gelisah, gundah gulana menunggu sang pujaan. Sesekali, dilihatnya arloji yang tersemat manis di tangan kirinya.

Selang beberapa waktu, dari jauh tampak seorang lelaki yang teramat dia kenal. Lelaki bertubuh jangkung dengan senyum menawan. Aiihhh..., betapa lelaki itu sangat menarik di matanya. Lelaki itu---yang biasa dipanggil Babychan---semakin mendekat. Bukan dengan kuda putih, melainkan dengan kendaraan kesukaan mereka. Yang tidak lain adalah seekor tronton. Eh... sebuah tronton maksudnya.

“Maaf akuuhhh…akuuuhhh telat!” ucap Babychan setibanya di depan Babytha.

Sementara, Babytha masih pasang wajah cemberut dengan bibir dimonyongkan beberapa centi.

“Jangan manyun gitu, dong! Nggak imut, ah. Jeyyeeek!” goda Babychan.

“Habisnya pake acara telat. Katanya mau lihat ‘sunset’ bareng. Itu, udah aku siapin camilannya!” Babytha mengarahkan telunjuknya pada segerombol botol bayg*n dan beberapa plastik cabai merah.

“Ah, kamuuhh celalu..., sini, sini peyuukkk!” ujar Babychan seraya merentangkan tangannya dan melangkah maju.

Babytha deg-degan tak menentu. Dia pun siap menerima pelukan lelaki di hadapannya itu. Tapi...

“Eh, kok...?” Babytha bingung mengapa yang dipeluk bukan dirinya, melainkan sebotol bayg*n besar.

“Hahaha, aku, kan, juga harus sayang ini dulu biar dapet perhatian terus dari kamuuuh. Sini, duduk!” ajak Babychan.

Kali ini mereka telah duduk berdua sambil menikmati panorama laut. Tak lupa terus mengunyah cemilan cabai merah dan bersulang baygon.

“Oh, ya, ini buat kamu.” Babychan menyodorkan sebuah kotak kecil warna merah muda.

“Selamat ulang tahun, ya! Semoga tambah endut, tambah imut, tambah sayang sama akuuuhhh,” lanjut Babychan.

Babytha menerima kado tersebut dengan pipi merah merona. Senyum malu-malu menghiasi wajahnya yang---kata Babychan---ayu.

“Spidol biru?” tanya Babytha sedikit kecewa ketika mendapati isi kotak kado tersebut.

“Iya. Buat mewarnai tanggalan. Supaya biru semua. Supaya nggak ada hari libur untuk mencintaimu dan sebaliknya,” terang Babychan dengan wajah polos.

Babytha cengar-cengir mendengar jawaban sang kekasih. Hatinya serasa ditumbuhi lagi beberapa puluh bunga berwarna-warni.

Tik…tik…tikk!

“Duh, hujan, Beb!” seru Babytha.

“Heh… hujan apaan?!” Riski mencipratkan air ke wajah Babytha.

Babytha tersadar dari lamunannya.

“Bengong sambil senyum-senyum sendiri. Seneng kali ditungguin pacarnya di belakang. Cie, cie…!” ledek Mayang.

“Iya, nih. Tumben aku tanyain soal pendingan malah senyum-senyum. Biasanya, kan, ketus jawabannya!” Babychan yang daritadi di belakang Babytha ikut menggoda.


Jakal, EN-211214

Nb:
- Ijin share untuk ‘meramaikan’ ulang tahun Mbak Desta. Mohon diabaikan jika kurang berkenan :D
- Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama itu memang disengaja
- Meminta maaf khusus kepada Mbak Desta dan Mas Candra karena penulis telah mengambil beberapa suku kata dari namanya sebagai tokoh utama cerita ini
- Akhir kata, selamat ulang tahun Babytha :p semoga dan semoga ^_^

Thursday, December 18, 2014

LIFE (Part 16)

Lelaki yang lelaki...
Adalah yang bersedia dengan lapang dada mengakui kesalahannya. Tanpa mencari kesalahan balik. Dan mampu menjaga mulutnya yang teramat mahal untuk mencerca.

Lelaki yang lelaki...
Adalah yang (jika dirinya memang benar) mampu memberi pembelaan dengan kata-kata baik. Disertai kesalahan atas tuduhannya. Juga kebenaran atas pembelaannya.

Lelaki yang lelaki...
Adalah yang cukup waktu dan cukup hati. Untuk mendengarkan tentang apa dan mengapa. Untuk melihat tentang kapan dan bagaimana. Lalu mencecapnya dalam satu kesatuan sebab dan akibat.

Lelaki yang lelaki...
Adalah yang (jika memang terbukti salah) bersedia meminta maaf dengan tulus ikhlas. Tanpa umpatan pun cacian ‘palagi di belakang. Tanpa banyak mengumbar pembelaannya yang entah.

Lelaki yang lelaki...
Adalah lelaki yang cukup legowo. Besar hati menerima, bahwa di dunia ini ada dua hal yang selalu berlawanan namun juga berdampingan. Ialah kesalahan dan kebenaran. Yang selamanya akan terus bergandengan, memisah bagi yang tak cukup legowo.


(^_^) (^.^)


Kereta Hantu

Penulis: Endar Wahyuni


Senja berlalu, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Aku sudah siap dengan seragam hitam-putihku. Kakiku melangkah menuju salah satu kereta. Ya, hari ini adalah hari ketiga PKL-ku menjadi pramugara kereta. Kalau bukan demi melengkapi nilai praktikku, sebenarnya aku sangat malas. Bagaimana tidak? Bahasanya saja pramugara. Tapi, kerjaannya seperti pedagang asongan. Menawarkan segala macam makanan dan minuman di dalam kereta. Kalau malam, ditambah menawarkan bantal. Aghh... menyebalkan.

Kali ini, aku sudah berada dalam salah satu gerbong. Di atas tangan kiriku terdapat sebuah baki lengkap dengan teh hangat. Kereta berjalan setengah jam yang lalu. Kini, saatnya aku beraksi.

“Teh hangatnya, Pak, Bu, silakan!” tawarku.

Semua terdiam. Tak ada yang menjawab.

“Yang kedinginan, yang haus, mari teh hangatnya!” teriakku lagi.

Nihil. Semua tetap bergeming. Kuperhatikan mereka saksama. Belum ada yang tertidur. Tapi, wajah mereka kelihatan pucat. Bibir tampak biru, dan...

“Mbak, mau teh hangat?” tanyaku pada seorang gadis di sampingku.

Tangan kananku sedikit menyentuh tangannya yang memang menggunakan kaus lengan pendek.

Deg!
                           
Aku terperanjat. Gadis itu terasa begitu dingin. Seperti..., seperti mayat.

“Tidaakkk...!!!” teriakku spontan.

Seluruh isi gerbong memandangku dengan tatapan kuyu. Tiba-tiba, darah keluar dari bola mata mereka. Aku benar-benar dilanda ketakutan. Ingin rasanya aku lari, tapi kakiku terasa kaku.

“Hei...!!! Apa yang kau lakukan di dalam sana!” teriak seorang perempuan berseraga. Entah seragam apa, aku tidak begitu melihat dengan jelas. Cahaya yang menerangi tempat ini hanya sedikit, hanya berasal dari sorotan lampu ruang tunggu stasiun. Tapi, aku yakin dia juga bekerja di sini.

Aku tiba-tiba merasa aneh. Kereta api yang kutumpangi dalam keadaan diam. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Bahkan, kondisinya teramat memprihatinkan. Aku bergidik, bingung apa yang telah terjadi. Buru-buru kulangkahkan kakiku keluar.

“Kau anak PKL, kan? Kereta ke Jakarta sudah akan berangkat. Kenapa malah asyik-asyikan bermain di kereta tua yang sudah tak terpakai lagi?” hardiknya setibanya aku di luar.

“Eh..., iya, maaf,” jawabku menunduk sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

Aku yakin benar, tadi kereta yang kumasuki awalnya biasa saja seperti kereta pada umumnya.

“Bolehkah kutahu, kereta yang akan kutumpangi sekarang yang mana?” tanyaku karena takut salah lagi.

“Ikut aku!” Perempuan itu membalikkan tubuhnya.

Mataku tiba-tiba tertuju pada punggungnya. Terlihat luka besar menganga dan menjijikan.

“Aaa...!!!” aku berusaha menjerit sekerasnya.

Perempuan itu membalikkan badannya lagi kearahku. Wajahnya kini tampak hancur. Banyak luka dan darah mengering. Aku serasa ingin pingsan kali ini. Dari belakang, kudengar kereta tua tadi berjalan kearahku. Kutoleh, tak ada masinisnya. Aku ingin menghindar. Namun, lagi-lagi kakiku terasa berat. Dan...

‘PET!’

“Aargghhh...!”

“Kenapa, Dil?” tanya ibuku.

“Laptopnya nggak tahu kenapa tiba-tiba mati, Bu. Padahal lagi buat tugas dari Bu Guru. Disuruh nulis cerita horror tentang kereta. Belum disimpan dan harus dikumpulin besok!” keluhku dengan muka masam.

JOG, En-171214



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini